Selasa, 10 Januari 2012

Kaleidoskop Senirupa 2011

Kemajemukan itu:
dari Seni Media Baru hingga Karya Stensil

Dari arsip media cetak, katalog pameran, dan catatan dari dunia maya pada 2011 tercatat sekitar 360 pameran di berbagai tempat: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Dari jumlah tersebut, kecenderungan mutakhir karya seni rupa adalah berkembangnya seni media baru. Ada empat pameran seni media baru yang layak dicatat: “Selametan Digital”, “Membajak TV”, dan “Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia”. Kecenderungan kedua, hadirnya karya-karya terinspirasi komik, atau yang di Amerika disebutlowbrow.

“Selametan Digital” dipergelarkan di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta. Ini acara seperti pergelaran wayang kulit, hanya semalam suntuk atau 12 jam: dari pukul empat sore 12 Mei sampai empat pagi 13 Mei. Materi pameran; rekaman video karya seniman internasional. Seperti, Nam Jun Paik (Korea), Ade Darmawan (Indonesia); Anggun Priambodo (Indonesia); Douglas Davis (AS); Genevieve Chua (Singapura); Harwan “Aconk” Panuju (Indonesia); Joseph Beuys (Jerman); M. Adel Pasha (Indonesia); Miltos Manetas (AS); Muhammad Akbar (Indonesia); R.E. Hartanto (Indonesia); Reza “Asung” Afisina (Indonesia); Sara Nuytemans (Belanda); Su Tomesen (Belanda); Tromarama (Indonesia); Wimo Ambala Bayang (Indonesia); Wok The Rock (Indonesia); Yusuf Ismail (Indonesia). Itu seniman per seorangan. Ada juga beberapa karya kelompok di antaranya, “10 Years of Video Art in Indonesia” (kurator, Hafiz, Indonesia); “Green Papaya Projects” (karya-karya pilihan dari Filipina); “akumassa” (karya-karya pilihan dari Indonesia); “OK Video Militia” (karya-karya pilihan dari Indonesia); “Video Battle” (karya-karya pilihan dari Indonesia).

Selametan, bahasa Jawa, artinya kenduri. Dalam tradisi Jawa selametan berupa upacara untuk merayakan sesuatu atau untuk mendoakan seseorang agar orang tersebut menerima berkah atau keselamatan. Sedangkan digital mengacu pada teknologi yang didasarkan atas sitem binary. Singkat kata pameran ini lebih kurang merayakan perkembangan karya seni rupa bermedium peranti digital: kamera foto, kamera film, komputer dan lain sebagainya. Mungkijn penyelenggara berharap, dengan pameran ini seni media baru mendapat berkah dan sehat berkembang di Indonesia dan dunia.

Pameran seni media baru muncul lagi sebagai pameran seni video bertajuk “Membajak TV”, di Komunitas Salihara, Jakarta, 6-21 Agusutus 2011. Mereka yang terlibat pameran ini antara lain Anggun Priambodo, Forum Lenteng, Henry Foundation, HONF, Irwan Ahmett, Jompet Kuswidananto, Muhammad Akbar, Nanang R. Hidayat, Prilla Tania, Reza Afisina, Tintin Wulia, Tromarama, Wimo Ambala Bayang, dan Yusuf Ismail. Kurator pameran Krisna Murti.
Menurut Nirwan Dewanto dalam pengantar katalog pameran ini: “Para perupa membajak piranti media dan produk siaran, menyelewengkannya dari tujuan yang diancang kaum mapan pemilik modal dan kuasa. Namun, jika dalam pembajakan pesawat tersua kekerasan dan maut, dalam pembajakan televisi semua pihak--semestinya--bergembira ria.”
Sebelum dua pameran seni media baru tersebut, di awal tahun sudah ada pergelaran “Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia”, 7-27 Januari 2011, Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Pameran diikuti seniman-seniman dari Yogya, Jakarta, dan Bandung. Mereka itu Geber Modus Operandi, Vensha, AG Kus Widananto, Agus Suwage, Performance Fucktory, House of Natural Fiber (dari Yogya). Krisna Murti, Tintin Wulia, Ade Darmawan, Hardiman Radjab, Hafiz (dari Jakarta). Widianto Nugroho, Commonroom, Muhamad Akbar, Prillia Tania (dari Bandung). Pameran ini merupakan salah satu dari rangkaian acara perayaan ulang tahun ruangrupa ke-10, perayaan bertema “DECOMPRESSION #10 - ruangrupa's 10th Anniversary”. Pameran ini memperlihatkan ragam pemakaian medium yang berkembang saat ini: medium digital. Kurator: Hendro Wiyanto

Di antara karya-karya new media art tersebut adalah karya instalasi yang gigantik oleh HONF (House of Natural Fiber) pada pameran “Influx”. Judul karya, Intelligent Bacteria, Jackfruit on Natural Incubation disingkat IB-JONI. Ujud instalasi ini, beberapa cawan dengan bentuk berlainan, dan masing-masing berisi koloni mikroorganisme yang berbeda. Karena berbeda-beda, tiap koloni mengirimkan gelombang suara dan cahaya berbeda-beda. Gelombang suara dan cahaya ini diarahkan agar tertangkap oleh sebuah instrumen. Pada instrumen ini dipasang alat agar penonton bisa mengatur gelombang suara dan cahaya itu. Karya ini hasil kolaborasi para perupa dan peneliti di laboratorium mikrobiologi Universitas Gajah Mada.
Karya sejenis inilah yang membuat HONF mendapat penghargaan dari festival seni media baru internasional, Transmediale Award, di Berlin, Jerman, 2011. Karya HONF menyisihkan 1.000 karya seniman dari berbagai penjuru dunia.

HONF merupakan komunitas terbuka, didirikan oleh sejumlah mahasiswa ISI Yogya pada 1999. Sejak awal komunitas ini memfokuskan kegiatan pada pengembangan budaya dan seni media baru dalam lokakarya dan proyek-proyek yang melibatkan masyarakat dan lingkungan. Lebih luas lagi, HONF tampaknya mencoba mengembangkan perpaduan antara seni rupa dan teknologi.

Bisa dikatakan HONF mencerminkan kecenderungan generasi milenium yang meretas batas; batas geografi, medium, hingga batas disiplin seni, ilmu, dan teknologi. Kecenderungan ini memungkinkan segala sesuatu menjadi medium seni rupa, termasuk televisi, video, internet. Bagi mereka, Youtube, dipublikasikan lewat internet, adalah medium sub-versi untuk memutarbalikkan dunia nyata. Siaran televisi misalnya, bisa diubah menjadi karya personal, kemudian diunggah ke Youtube dan bisa dilihat siapa saja.

Kecenderungan pada seni media baru ini agaknya yang membuat para juri pada Bandung Contemporary Art Award memenangkan karya Anggun Priambodo berjudul Sinema Elektronika. Acara yang diselenggarakan oleh Lawangwangi Art and Science Estate, Bandung, pada 28 Januari 2011 itu diikuti sekitar 400 karya seni rupa kontemporer.

Kecenderungan itu pula yang menjadikan “OK. Video-Jakarta International Video Festival”, sebuah kegiatan dengan banyak acara: kompetisi video, diskusi, pameran, dan video out-- bukan sekadar meretas batas geografi. Keinternasionalan di situ benar-benar mengesankan bahwa kegiatan ini datang dari “satu tempat”, yakni “planet Bumi”. Diselenggarakan oleh ruangrupa, “OK. Video” diadakan di Galeri Nasional, Jakarta, 6-17 Oktober 2011. Pameran ini dikuratori bareng-bareng: Hafiz, Agung Hujatnikajennong, Farah Wardani, Mahardika Yudha, dan Rizki Lazuardi.

Komunitas ruangrupa merupakan salah satu komunitas yang mencoba merespons budaya urban, dan salah satu budaya urban itu adalah seni media baru. Dalam website ruangrupa antara lain bisa dibaca bahwa “ruangrupa merupakan artist inisiative, didirikan pada tahun 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Ini adalah sebuah organisasi nirlaba yang berusaha untuk mendukung kemajuan gagasan seni dalam konteks urban dan lingkup yang lebih besar dari kebudayaan, dengan cara pameran, [mengadakan] festival, [menyelenggarakan] laboratorium seni, lokakarya, penelitian, dan publikasi jurnal,” demikian terbaca pada website komunitas ini. Pada ulang tahun ke-10, 2011, ruangrupa menyelenggarakan “DECOMPRESSION #10 - ruangrupa's 10th Anniversary” dengan banyak kegiatan, antara lain pameran di Galeri Nasional, 28 Desember-27 January 2011 dan pameran “Influx” di Taman Ismail Marzuki seperti sudah diceritakan.

Masih sekitar pameran seni media baru, adalah pameran Krisna Murti di Langgeng Galeri, Jakarta Art Distrik, 3-20 November 2011. Bertajuk “Poetshop”, karya-karya yang dipamerkan merupakan “perpaduan” dua bidang seni: puisi dan seni rupa. Krisna mewujudkan beberapa puisi Hanna Francisca dalam berbagai bentuk yang mudah kita kenali sehari-hari, seperti kursi, meja, foto, wastafel, dan seni video. Kurator pameran: Rifky Effendi.
Instalasi wastafel Krisna berisi monitor terendam air di dasar wastafel, menyajikan rekaman video pembacaan puisi. Di air itu beberapa ekor ikan berenang-renang, ikan sebenarnya. Puisi, air, ikan; mungkin Krisna Mukti ingin menggambarkan hidup itu rangkaian hal-hal yang selalu bergerak.

Sebaliknya, pameran Ugo Untoro, “Papers and Ugo”, Taman Budaya Yogyakarta, 8-21 Januari 2011, justru “kembali” pada kertas, medium seni rupa yang “klasik”. Kertas-kertas Ugo berisi coretan membentuk komik, puisi, atau catatan-catatan serta sketsa-sketsa yang dibuat sehari-hari. Inilah sebenarnya karya Ugo sehari-hari, namun tak banyak diketahui oleh publik. Pameran ini dikurasi oleh Aminuddin T.H. Siregar.
Ratusan karya Ugo pada kertas lini lebih-kurang merupakan manifestasi gagasan-gagasannya. Mengingat karya-karya pada kanvas, tampaknya “gagasan-gagasan” pada kertas itu merupakan salah satu sumber inspirasi Ugo: ada beberapa karya pada kanvas Ugo mengingatkan kita pada karya-karya pada kertas ini. Alhasil, melihat karya-karya kertasnya ini seperti “mengintip” proses kreatif Ugo.

Di antara pameran “Influx” dan “Petshop” adalah pameran tunggal Jompet Kuswidananto, “Java Machine: Family Chronicle”, berlangsung 25 Maret-7 April 2011 di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Karya Jompet, Java Machine, terasa orisinal dalam menggunakan medium untuk mengingatkan kembali tentang nilai “lokal” yang berkaitan dengan Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Bentuk-bentuk yang mengingatkan pada seragam prajurit kraton itu disusun dalam karya instalasi, seolah prajurit-prajurit sedang berbaris. Ada suara genderang, dan seragam yang bergerak -dihadirkan dengan bantuan elektronik; mirip robot jadinya. Kurator: Agung Hujatnikajennong.

Pluralitas itu
Sudah sejak 2001 Galeri Nasional Indonesia mempunyai program yang dinamakan Pameran Seni Rupa Nusantara (PSRN). Ide pokoknya, memamerkan karya-karya seni rupa dari para seniman yang bermukim dari Sabang hingga Papua. Pameran diselenggarakan dua tahun sekali, tiap tahun dengan tajuk masing-masing.

Pada PSRN 2011, diselenggarakan pada 19-29 Mei, bertajuk “Imaji Ornamen”, dikuratori oleh Kuss Indarto. Bila pameran terasa kurang beragam, bisa jadi ragam ornamen dari Sabang sampai Papua banyak mirip. Atau, para seniman itu “terpaku” pada kuratorial, tak mengembangkan kreativitas sendiri.

Kehadiran PSRN di Galeri Nasional di tengah perkembangan seni media baru mengingatkan kita bahwa satu acuan nilai yang pernah dipegang teguh, yakni karya seni rupa yang baik harus selalu “baru”, selalu garda depan, sudah tergeser. Kini dengan senang kita menerima semua itu tanpa mempertanyakan kebaruan, kepribadian dan hal-hal yang berkaitan dengan modernisme. Inilah zaman yang merayakan pluralitas, kemajemukan.

Maka dengan senang kita menonton pameran seni rupa kinetik -karya-karya yang bergerak selalu. Tajuk Indonesian Kinetik Art Exhibition ini adalah “Motion/Sensation”, diorganisasi oleh Edwin Galeri, diselenggarakan di Jakarta Art Distrik, 4-24 Agustus 2011.
Para peserta pameran seni kinetik: Ade Darmawan, Agus Suwage, Bagus Pandega, Deden Sambas, ER, Handiwirman Saputra, Hardiman Radjab, Heri Dono, Jompet, Lie Fhung, Mella Jarsma, Octora, Rudi Hendriatno, Septian Harriyoga, Wiyoga Muhardanto, Yani Mariani Sastranegara, Yuli Prayitno. Ini termasuk pameran seni rupa yang jarang, kalau bukan inilah pameran seni rupa [khusus] kinetik yang pertama kali.

Karya-karya dalam pameran ini bergerak, berulang-ulang dalam urutan gerak yang sama. Karya-karya ini mengingatkan kita bahwa hidup kita sebenarnya bak karya seni rupa kinetik itu, yang selalu berulang: sebuah rutinitas. Bangun tidur-kerja-pulang, ketemu keluarga, tidur-bangun tidur- kerja … dan seterusnya.

Karya Patung
Termasuk pameran yang jarang adalah pameran patung. “Intersection”, yang diselenggarakan oleh Andi Gallery, 6-24 April 2011, di Grand Indonesia, melibatkan 50 pematung. Karya patung kontemporer itu hadir bersama dengan objek atau tanda-tanda yang lazim ada pada mall. Apa yang kemudian terkesan?
Lorong mall seperti mengadaptasi patung-patung itu sehingga antara patung dan objek-objek di mall hadir selaras. Kalau ada yang merasa bahwa lorong mall menjadi asing karena “benda-benda” baru yang tak lazim, mungkin ini hanya soal waktu untuk membuat yang tak biasa menjadi biasa.

Itu pula yang ada pada acara tahunan Bazaar Art Jakarta di Ballroom Hotel Ritz Carlton, Pacific Place Jakarta. Pameran empat hari, 4-7 Agustus 2011, ini diikuti bukan oleh per seorangan, melainkan oleh galeri-galeri.
Ada perbedaan antara pameran patung di Grand Indonesia dengan Bazaar di Ritz Carlton. Dalam Bazaar karya-karya yang dipamerkan terasa “siap pajang”. Tampaknya ada kesengajaan memilih karya sesuai dengan suasana Ballroom Ritz Carlton, mengingat ruang ini tak diubah agar sesuai dengan karya-karya yang dipamerkan. Para pemilik galeri, disadari atau tidak, melihat antara ranah seni dan ruang publik sejenis mall masih seperti air dan minyak. Maka dicarilah cara agar karya seni pun hadir di mall dengan serasi dan diapresiasi publik.
“Kesengajaan” ini tak terasakan di Grand Indonesia, sehingga kita kadang terkaget-kaget menjumpai “benda asing” di antara gerai-gerai di sebuah mall nan gemerlap itu. Tapi justru ini mengasyikkan. Kurator “Intersection”: Hardiman dan Asikin Hasan.

Menyusul “Intersection” adalah “Ekspansi”, pameran patung di Galeri Nasional, 14-24 Juli 2011. Pameran ini lebih terasa untuk mengakomodasi pematung Indonesia melihat jumlah peserta, seratus pematung lebih. Tapi ini memang dimaksudkan sebagai pameran besar seni patung Indonesia. Kurator: Asikin Hasan, Asmudjo Jono Irianto, dan Jim Supangkat.
Pameran ini berniat menggambarkan bahwa seni patung Indonesia tak lagi berkukuh pada medium “tradisional” (kayu, batu, semen, tembaga dan lain sebagainya) melainkan merambah ke materi apa pun, misalnya lembaran plastik. Namun begitu banyak karya, “ekspansi” ke medium apa pun itu tak begitu terkesan dalam pameran. Atau, sesungguhnya hadirnya medium yang tak biasa dalam karya seni rupa sudah dianggap biasa.

Bagaimana pun pameran patung disambut, karena memamerkan karya tiga dimensi ini sungguh tak sederhana, berbeda dengan pameran lukisan yang jauh lebih praktis. Juga lebih praktis bilamana pameran patung menghadirkan satu tema “sederhana”, misalnya pada pameran patung di Edwin Gallery, 8-18 Desember 2011. Bertajuk “Lintas”, pameran menghadirkan bentuk-bentuk yang mudah kita temukan sehari-hari.

Pameran Bienal
Berbicara tentang kemajemukan, pameran dua tahunan (biennale, biennial) Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Biennale 2011, mencerminkan kemajemukan itu, baik dari sisi medium, maupun cabang seni rupa. Bahkan kemajemukan di sini -seperti kecenderungan karya seni rupa kontemporer-- sekaligus menunjukkan keberagaman dan keberpaduan.
Jakarta Biennale 2011 mengambil tema: “The Maximum city: Survive or Escape”.
Tema ini dibagi menjadi empat subtema: “Violence and Resistance”; “Narcisism, Voyeurism and The Body”; “Game, Leisure and Gadget”; “Metro-Text Seduction”. Sekitar 180 seniman nasional dan internasional terlibat dalam acara yang dipergelarkan di beberapa venue: taman, mall, jalanan, dan galeri. Dua galeri menghadirkan karya dari 50-an seniman Indonesia dan belasan seniman dari negara lain: Galeri Nasional Indonesia, dan Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Apa yang terlihat dalam ruang pamer utama Galeri Nasional? Pada hari pembukaan sejumlah karya berbagai medium dalam ukuran dari hampir setinggi atap ruang hingga yang hanya membutuhkan satu sudut dipajang. Sepertinya penyelenggara tak mempertimbangkan bahwa karya dengan ukuran tertentu harus diberi jarak pandang supaya terlihat secara keseluruhan. Memang, di hari berikut ada penataan kembali, beberapa karya dipindah dan karya yang belum sempat dipajang sudah ditampilkan. Tapi ini hanya memperkuat dugaan bahwa penyelenggara tak siap benar dengan perhelatan akbar ini. Memang, sebuah karya yang baik tetaplah baik dipajang di mana pun. Namun seni rupa merupakan kesenian yang dilihat. Tanpa pemasangan yang, minimal, pengunjung bisa melihat dengan nyaman dan aman, “nilai” karya itu tak “terbagi” dengan baik kepada pengunjung. Kurator pameran: Bambang Asri Widjanarko, Ilham Khoiri, dan Seno Joko Suyono.

Dibandingkan dengan pameran yang juga menampilkan berbagai karya dalam berbagai ukuran dan medium, “1001 Pintu, Menafsirkan Kembali Tradisi” di Ciputra Artpreneur Center, Jakarta, 26 Januari-6 Februari 2011, Jakarta Biennale 2011 sungguh disayangkan. Setidaknya pemasangan tiap karya dalam “1001 Pintu” sedemikian rupa hingga pengunjung leluasa mengamatinya dari berbagai sudut pandang tanpa mengganggu pengujung lain. Kurator pameran ini: Asmudjo Jono Irianto.

Juga, bandingkan dengan pameran “KUOTA” di Langgeng Art Foundation Yogya, 20 Maret-7 Mei 2011. Pameran ini terkesan mempertimbangkan medium karya, ukuran karya hingga adakah sebuah karya memerlukan bidang atau ruang tertentu, atau alas tertentu, atau alat pendukung lain dalam pemajangan agar karya-karya nyaman dan aman dipandang.
Yang juga perlu dicatat, “KUOTA” merupakan pameran kilas-balik: mengundang perupa yang dianggap melahirkan karya yang “menarik” dalam tahun terkait. Iniu merupakan pameran dua tahunan Langgeng Gallery, diadakan sejak 2005. Kurator: Hendro Wiyanto.

Sebelum Jakarta Biennale dibuka, 15 Desember, dua bienal yang lain terlebih dahulu dimulai: Jawa Timur Biennale, 16 Oktober, dan Biennale Jogja XI 2011, 26 November.
Jawa Timur Biennale diselenggarakan di Surabaya, pameran dibagi di beberapa tempat: CCCL (pusat kebudayaan Prancis di Surabaya), Galeri AJBS, Galeri Orasis, Galeri Surabaya, GO Art Space, House of Sampoerna. Jawa Timur Biennale paling tidak menunjukkan bahwa para perupa Jawa Timur masih aktif berkarya. Di samping, bienal ini juga membuktikan bahwa Surabaya cukup memiliki galeri seni rupa yang layak menjadi tempat pameran besar.

Bertemakan “Transposisi” Jawa Timur Biennale dikuratori oleh Agus Koechink dan Syariffudin.
Sementara itu dua pameran utama di Biennale Jogja XI menempati Museum Nasional Jogja, dan Taman Budaya Yogyakarta. Lalu beberapa pameran paralel diadakan di beberapa tempat.
Biennale Jogja kali ini berlabel internasional, setidaknya melibatkan seorang kurator dari India dan sejumlah karya dari India. Mengapa India?

Inilah pameran pertama dari rencana yang disebut “Equator Series”. Mulai bienal 2011 ini, Biennale Jogja akan bergerak di “sekitar khatulistiwa pada 23.27 Lintang Utara dan Lintang Selatan”, melibatkan setidaknya satu negara lain. India dipilih untuk yang pertama ini karena direncanakan gerak “Equator Series” berpedoman pada garis khatulistiwa ini menuju barat: Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, kemudian ke kepulauan di Samudera Pasifik. Nah, gerak ke barat ini menunjuk India, dengan pertimbangan India dekat dengan Indonesia. Banyak budaya Indonesia mirip dengan budaya India, selain juga banyak perbedaannya.
Tema yang diangkat oleh Biennale Jogja adalah “Keagamaan dan Perbedaan”, dua hal yang oleh kurator, Alia Swastika (Indonesia) dan Suman Gopinath (India) dianggap masalah yang sama-sana pelik di India maupun Indonesia. Dua hal itu kadang memunculkan sinergi yang positif, namun lebih sering meledakkan konflik antaragama.

Biennale Jogja 2011 tak hanya memamerkan karya perseorangan, juga karya kelompok, dan proyek komunitas. Dengan demikian diharapkan tema yang dipilih bisa lebih tecerminkan dalam pameran.

Tradisi Sanggar?
Tujuh bulan sebelum Biennale Jogja, tepatnya April 2011, di Museum Nasional Jogja dipergelarkan pameran oleh kelompok Detik '96. Inilah kelompok alumni ISI angkatan 1996, pameran kali ini merupakan yang keempat kalinya, mengambil tema “Kebangkitan”. Yang unik pada “Kebangkitan” adalah tiap peserta membuat ruang masing-masing, menjadi semacam kalkulasi pada yang telah mereka lakukan selama ini. Pameran ini perlu dicatat karena Detik '96 seperti meneruskan tradisi sanggar yang muncul di Yogya di masa sebelum Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI, Yogya) dirikan pada 1950, tentu saja dengan format dan gerak komunitas sesuai zaman.

Indonesian Eye
Adalah pameran “Indonesian Eye: Fantasies and Realities” yang digalang oleh Saatchi Gallery, London, yang disebut-sebut sebagai pameran pertama seni rupa kontemporer Indonesia di Inggris. Mungkin sebutan “pertama” itu ditekankan karena pameran ini dianggap mencerminkan seni rupa kontemporer Indonesia secara keseluruhan. Soalnya, perorangan, atau kelompok kecil perupa kita, sudah beberapa kali seniman kontemporer Indonesia berpameran di Eropa.

“Indonesia Eye” memamerkan 41 karya lukis, patung, dan instalasi dari 18 seniman, pameran ini dikuratori oleh Serenella Ciclitira, Tsong-zung Cang (direktur sebuah galeri di Hong Kong), dan Nigel Hurst, direktur utama Saatchi Gallery. Tiga kurator Indonesia diminta ikut memilih karya: Jim Supangkat, Asmudjo Jono Irianto, dan Farah Wardani.

Sebelum dipamerkan di London, akhir Agustus hingga awal Oktober, karya-karya tersebut dipamerkan di Ciputra Artpreneur Center, 9 Juni hingga 10 Juli 2011. Konon, masyarakat pencinta seni rupa di London melihat pameran ini sebagai perkenalan seni rupa kontemporer Indonesia. Bahwa ada juga yang mengkritik sebagai “tidak mengesankan” entah karena ia tak memahami seni rupa kontemporer Indonesia, atau karya-karya itu memang tak menarik, itu biasa.

Cline Milliard menulis di Artinfo edisi internasional (www.artinfo.com/news): “Saya merasa tersesat di depan sejumlah lukisan figuratif dan patung yang absurd. Apakah karena saya tak memahami latar belakang budaya para seniman ini, atau karya-karya ini memang tak mengesankan?” Milliard mengaku hanya bisa mengapresiasi karya Angki Purbandono, sebuah karya scanography, “potret” sikat gigi yang sudah usang.

Untuk menciptakan saling pemahaman antarbudaya itu barangkali perlu banyak diadakan seperti pameran bertajuk “Immemorial: reaching back beyond memory”, di Darwin, Australia, 26 Oktober-27 November 2011. Pameran ini merupakan pameran ketiga, diikuti para perupa Australia, Indonesia, dan Filipina. Pameran pertama di Yogyakarta (2009), dan kedua di Manila (2010).

Proyek “Immemorial: reaching back beyond memory” dikembangkan oleh 24HR Art (asosiasi seni rupa di Northern Territory, Australia, berdiri pada 1989) yang kemudian mengajak ICAN (Indonesia Contemporary Art Network, Yogyakarta, organisasi untuk mengembangkan seni rupa dan disiplin ilmu lainnya), dan Green Papaya Arts Project (komunitas independen di Manila yang mengembangkan seni rupa dan budaya). Ini sejenis program residensi seniman antarnegara: Australia dan Indonesia, Australia dan Filipina. Tujuannya, menemukan kesamaan dari orang-orang yang berbeda budaya dan latar belakang. Dengan tujuan ini tak lalu perbedaan dilupakan; perbedaan kemudian dipahami agar tak menjadi “konstruksi irasional” yang digunakan untuk kepentingan tertentu.

Memang, antara “Indonesian Eye” dan “Immemorial” ada perbedaan mendasar. Yang pertama diusung galeri, dengan sponsor perusahaan besar asuransi (Prudential) yang mau tak mau ada perhitungan komersialnya. Yang kedua, proyek dari lembaga nirlaba, dibiayai antara lain oleh pemerintah (Northern Territory, Australia), dengan tujuan utama menyebarkan saling-pengertian.

Kedua jenis kegiatan ini diperlukan, karena dunia seni rupa dan masyarakat dunia umumnya tidak mungkin hanya ditopang oleh satu jenis kegiatan agar hidup sehat. Diperlukan para kolektor yang miliarder untuk menggerakkan roda ekonomi, juga diperlukan karya-karya pembanding dan “peniup peluit” agar atmosfer kreativitas tetap hidup bebas.
Sejenis “Immemorial” itulah pameran “Crossing Signs”, 2-10 April 2011, di Galeri Nasional Indonesia. Sebelumnya, “Crossing Signs” dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta, 20-29 Maret. Dua kurator, Sujud Dartanto dari Indonesia (yang juga menjadi kurator “Immemorial”) dan Noor Veiga dari Jerman. Pameran ini merupakan hasil kerja bersama 14 perupa Jerman dan Indonesia. Mereka bertemu, bekerja sama untuk menemukan kemungkinan ketiga.

Festival Grafis
Jika seni media baru merangkul, atau membajak televisi,video, internet, pameran
Jakarta International Stencil Art, di North Art Space, Ancol, 5 Maret- 5 April 2011 mencoba mengaktualkan teknik stensil yang sudah jarang digunakan oleh para perupa kita.
Tentu ini bukan pameran karya stensil pertama, namun inilah pameran yang tak hanya diikuti para perupa dari Indonesia (Jakarta, Yogya, dan Bali).Ada peserta dari Prancis, Jerman, Polandia, Spanyol, dan Amerika Serikat. Tiga kurator mengkoordinasikan pameran ini : Ary Widjaja, Selo Riemulyadi, dan Frigidanto Agung.

Pameran karya stensil kemudian muncul lagi di Edwin Gallery di Jakarta Art Distric, Grand Indonesia, 3-13 November 2011. Pameran menampilkan karya-karya dua perupa: Farhansiki, dan Ari Diyanto. Kurator, Farah Wardani, mengambil tema “Redux”, kira-kira bermakna “memperbaiki” atau “mengembalikan”.

Dipilihnya media stensil karena menurut Farah, proses membuat karya stensil yang menggunakan pola untuk membuat bentuk pada media yang dipilih, “seolah [pola] itu adalah kepanjangan tubuh [senimannya].” Jadi, media stensil bukan hanya media untuk “seni rupa jalanan” di tembok-tembok kota. Karya-karya yang dipamerkan kurang lebih mencerminkan “perlawanan” terhadap “polusi” visual sehari-hari.

Tampaknya upaya menghidupkan kembali teknik stensil merupakan bagian dari kegiatan memopulerkan seni grafis pada umumnya. Bukan hanya teknik stensil, melainkan seni grafis dianggap kalah populer dengan cabang seni rupa yang lain, terutama seni lukis. Salah satu upaya memopulerkan seni grafis adalah Festival Grafis Berseni, 15 September-6 Oktober 2011, bertempat di Lawangwangi Art Science & Estate, Bandung. Di balik acara ini adalah Kelompok Grafis Berseni Institut Teknologi Bandung (KGB ITB). Ini bukan sekadar pameran karya grafis. Ada demo membuat karya cetak saring di pinggir jalan. Sehingga masyarakat bisa melihat langsung proses kerja seniman.

KGB ITB mengadakan festival ini karena menganggap seni grafis meski sudah masuk dalam perguruan tinggi seni rupa sejak awal, 1950, kini masih juga “meraba-raba” mencari “posisi”. Dengan tema “Cultural Lag” festival ini menyuguhkan apa yang bisa dicapai oleh seni grafis di zaman ketika seni rupa tak lagi mengenal batas, bisa dikatakan apa saja bisa menjadi karya seni rupa dan karya seni rupa bisa apa saja.

Hal tersebut itu, seni rupa tak mengenal batas, tecermin dalam Art Jog di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), 16-29 Juli 2011. Sekitar 250 karya seni rupa dipajang di dalam dan di luar gedung TBY. Direktur Artistik Art Jog 2011, Bambang Toko Witjaksono, melibatkan seniman di Medan, Surabaya, Ngawi, Mojokerto, Boyolali. Seorang peserta datang dari Singapura.
Art Jog 2011 menampilkan dari karya patung raksasa berukuran sekitar 4X4X4 meter, ditaruh di halaman depan gedung, hingga lukisan cat minyak “biasa” yang digantung di dinding di dalam gedung. Art Jog pada awalnya, 2008, bagian dari Jogja Arts Festival. Kemudan pameran seni rupanya merupakan acara sendiri, dan mulai 2010 pameran seni rupa ini disebut Art Jog.
Masih di Yogya, adalah Pameran Fiber Face 3 bertema “Transformation” di Taman Budaya Yogyakarta, 12-25 Februari 2011. Pameran yang sudah ketiga kalinya ini termasuk jarang: pameran seni serat internasional. Kurator pameran merupakan sebuah tim, terdirin dari Joanna Barrkman, Pang Warman, Abdul Syukur, dan Maradita Sutantio.

Pameran tak hanya menampilkan karya kontemporer dari Indonesia, Australia, Jerman, Belgia, Austria, Jepang, juga karya seorang penenun ulos tradisional dari Sumatra Utara. Hadirnya penenun tradisional memungkinkan tema. “transformasi” bisa dibayangkan oleh pengunjung. Pameran seni serat atau tekstil ketiga ini memang berniat menunjukkan seberapa jauh sudah media serat diolah dan kemungkinan-kemungkinan ke depannya.

Adalah Kelompok 12 PAS di Jakarta yang pada 2011 ini juga menampillan karya-karya bermedium serat. Diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta, 28 Juli-7 Agustus, kelompok yang didirikan pada 2005 oleh sejumlah alumni Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) mengambil tajuk “Fabric Experience.”

Menurut mereka, 12 Pas adalah nama kelompok yang dipakai ketika mengerjakan karya bersama. Dari pengalaman bersama itu kemudian tiap anggota mengembangkan minat masing-masing. Tampaknya, ada perbedaan antara kelompok masa kini dengan sanggar di masa silam, terutama di Yogya. Sepintas, sanggar lebih sebagai sebuah wadah untuk survive secara sosial, ekonomi, dan politik. Sedangkan dalam keseniannya, biasanya ada satu atau lebih tokoh yang menjadi panutan. Sedangkan kelompok di masa kini lebih untuk melakukan “eksperimen”, mencari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan secara bersama. Cara ini diyakini akan memberikan hasil berbeda dibandingkan dengan “eksperimen” yang dilakukan sendirian. Tapi ini kesimpulan sementara, masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam.

Seni untuk Rakyat
Beberapa pameran yang sudah disebutkan antara lain mencoba menampilkan kembali medium seni rupa yang hampir terabaikan, tertutup oleh medium baru. Sementara itu Pameran Sanggar Bumi Tarung SBT) benar-benar sebuah pameran untuk mengingatkan kembali satu sanggar seni rupa yang hampir musnah sebagai korban politik masa lalu. Maka pameran SBT di Galeri Nasional, 22 September-2 Oktober 2011 disebut sebagai pameran ketiga. Yang kedua, dilangsungkan di Galeri Nasional juga, 19-29 Juni 2008, Dan yang pertama, diselenggarakan di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta pada 1962, setahun setelah SBT didirikan.
SBT jelas-jelas berafisiliasi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia). Menurut Amrus Natalsya, pendiri utama SBT, bisa dibilang yang masuk menjadi anggota SBT adalah juga anggota Lekra. Karena itu SBT menjunjung “seni untuk rakyat”. Dalam perubahan zaman seperti sekarang, ketika komunis internasional pun runtuh, dalam perkembangan seni rupa yang sudah “apa saja bisa menjadi karya seni rupa”, seperti apa karya-karya SBT ini, adalah pertanyaan yang jawabannya ada di pameran-pameran SBT selanjutnya.

Sementara itu sebuah pameran tunggal, tanpa gembar-gembor, tanpa senimannya menjadi anggota Lekra misalnya, dilihat dari karya-karya yang dipamerkan bisa disebut sebagai karya-karya komentar sosial. Pameran tunggal Eko Nugroho di Ark Gallerie, 9 Juli- 15 August 2011 bertajuk “This Republic Need More Semeleh”. Kuratornya, Alia Swastika.
Di pameran ini Eko menampilkan hampir semua medium yang pernah ia jelajahi: tinta dan kertas, dan karya bordir, dan karya instalasi. Lima karya bordir terasa dominan dalam pameran ini; salah satunya berjudul, Kecerdasan Berbuah Kerakusan.

Di Ark Gallerie ini juga Wedhar Riyadi memamerkan karya-karya yang juga berkomentar sosial, langsung atau tak langsung. Dikuratori oleh Hendro Wiyanto, pameran digelar 24 September-30 Oktober 2011. Ada karya pada kanvas, pada kertas, dan karya objek dam pameran bertajuk “Daging dan Pedang: Kegaduhan di Negeri yang Subur”.

Tokoh dalam komik dan kartun merupakan sumber yang memberikan inspirasi kepada Wedhar. Tokoh dalam karya Walt Disney atau keluarga Simpsons karya Matt Groening misalnya, sering muncul di bidang gambarnya. Menjadi tak relevan mempersoalkan apakah, misalnya kegaduhan di negeri subur itu menggambarkan Indonesia atau negeri lain di zaman ketika demonstrasi besar di Suriah bisa kita saksikan di Jakarta pada waktu yang hampir sama, dan dipadu dengan berita kekerasan di Papua atau Ace atau Lewat televisi tentu.

Adalah pameran bersama bertajuk “Finding Me”, di Galeri Semarang, 2 -26 Nov 2011. Kurator, Rifky Effendi tampaknya mengumpulkan mereka yang dianggapnya terinspirasi oleh semacam budaya pop, termasuk komik dan kartun. Tapi anggapan ini bisa menjadi bahan perdebatan tanpa ujung kalau kita mencoba menguji benarkah, misalnya, Heri Dono, terinspirasi komik-komik yang dinamakan lowbrow di Amerika Serikat. Bagaimana dengan wayang kulit yang konon “makanan sehari-hari” Heri Dono di masa kecil, dan kini bentuk-bentuk wayang itu membayang di kanvas-kanvasnya?

Berbeda dengan karya Wedhar, yang tanpa tedeng aling-aling menghadirkan sosok Brat Simpson atau Scooby-doo, karya-karya dalam “Finding Me” tak sejelas itu. Namun, melupakan ikhwal lowbrow, pameran ini menggambarkan betapa beragam kini karya seni rupa Indonesia.
Maka pameran tunggal Uji Handoko, di Langgeng gallery, Jakarta Art Distric, pada Juli 2011, yang juga terinspirasi dunia komik dan kartun, namun lebih bercerita tentang pengalaman sendiri, pantas pula dicatat. Hahan, ini nama julukannya, lebih menengok ke diri daripada ke masalah sosial.

Atau pameran beberapa bulan sebelumnya, di Nadi Gallery, 27 Januari-8 Februari. Decky “Leos” Firmansah merangkai sosok-sosok tokoh cerita dalam satu kanvas layaknya mewakili satu buku atau satu cerita komik.

Sepeda dan Perikebinatangan
Apakah komentar sosial dalam seni rupa hanya berkaitan dengan manusia? Andai ada gambar hewan misalnya, biasanya memang hewan itu hanya dijadikan simbol; yang dituju adalah manusia. Lukisan bertema celeng oleh Djoko Pekik misalnya, celeng di situ adalah simbol penguasa bengis. Maka menarik pameran di Rumah Seni Cemeti, Yogya, 7-30 Juli. Pameran diikuti oleh sekitar 30 perupa dari tiga generasi ini bertemakan “Beastly”, kebinatangan. Konsep yang menjadi acuan mereka yang diundang oleh Cemeti datang dari Heru Hikayat. Dalam pameran sosok hewan itu bukan hanya menyimbolkan manusia, melainkan juga hadir atas nama hewan itu sendiri menurut tafsir senimannya. Adakah para seniman kini memiliki pengalaman atau pandangan yang lain dengan seniman masa silam? Di masa silam lahir fabel si kancil, ada kisah Rintintin, ada pasukan monyet Sri Rama, ada juga Tarzan yang diasuh gorila.

Pameran ini pada pada 3-23 Desember dipamerkan di Galeri Salihara, Jakarta. Pada katalog, ada tambahan “pengantar” oleh Nirwan Dewanto dan Goenawan Mohamad.
Bila “Beastly” lebih kurang menyoal hubungan manusia dengan hewan, sesama makhluk hidup, pameran “Crop Cycle”, di Galeri Canna, 6-20 Oktober 2011, menafsirkan hubungan manusia dengan sepeda. Peserta pameran seluruh mereka yang tinggal di Yogyakarta. Mungkin karena Yogya dikenal sebagai kota sepeda -tapi ini dulu, tahun 1950-an-1960-an. Dengan kurator Bambang Witjaksono, para peserta pameran mencoba mengartikulasikan sepeda pada kanvas, pada bentuk tuga dimensi, pada instalasi, dan pada seni video.

Jakarta 32 C
Dari sekitar 360 pameran pada 2011, kebanyakan adalah pameran -katakanlah-- para perupa yang sudah “jadi”. Adalah pameran “Jakarta 32° C” yang khusus menampilkan karya-karya mahasiswa yang tinggal di Jakarta. Prakarsa dari ruangrupa ini sudah beberapa kali dilaksanakan, terakhir, 28 Desember -12 Januari, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

Proses pemilihan karya sedemikian rupa hingga bisa dikatakan pameran ini bersifat edukatif. Peserta diminta merepresentasikan karya-karya yang hendak diikutsertakan. Representasi ini sebagai seleksi sebelum karya masuk ruang pamer. Lebih daripada sekadar pameran, aktivitas ini secara langsung menyiapkan generasi mendatang dalam dunia seni rupa Indonesia. (artikel ini merupakan naskah untuk kaleideskop senirupa Dewan Kesenian Jakarta 2011)




Senin, 08 Maret 2010

Metafor dari Jalanan*

Jalan memberi sesuatu tersendiri dalam pikiran kita dimana segala sesuatu yang terlihat di jalanan saat kita melintas ternyata memasuki memori dalam kepala. Disinilah rangsangan syaraf-syaraf mendapatkan 'sesuatu' tersebut. Dimana meletakan gambar-gambar dari jalanan itu dalam pikiran? Secara psikologis, tentu dalam memori yang tidak dapat disangkal lagi akan mengendap, maka disanalah proses mencari perumpamaan terhadap apa yang kita gambarkan akan muncul dari bawah sadar kita, bahwa setiap hari kita melewati jalan-jalan yang memberi kita suatu bayangan untuk disimpan atau diproses dalam memori kita. Melalui cara inilah visual-visual yang terlukiskan dalam pameran ini membuat representasi kembali atas dinamika visual atau obyek yang kita lihat dijalanan.

Keadaan jalanan bagaimanapun adalah sesuatu yang akhirnya masuk dalam memori, proses pengolahan bawah sadar hasil pengendapan menjadi sesuatu yang lain dari hasil biasanya membutuhkan cara berpikir lain juga untuk dinampakan menjadi sesuatu yang unik. Lebih dalam lagi bagaimana membuat visual yang mempunyai kedalaman mengolah gambar. Visual-visual yang muncul atau drawing dalam pameran ini merupakan representasi dari apa yang terlihat shari-hari dalam kehidupan kita.

Obyektivitas visual yang dihasilkan merupakan sesuatu yang dinamis, karena hasil proses dan pengendapan yang tidak tertinggal oleh waktu. Disinilah bagaimana penghayatan proses menjadikan visual itu lebih dari apa yang ada pada obyek sebenarnya muncul. Psikologis secara subyektif mempunyai pengandaian lebih dari obyek yang biasa, disini metafor terhadap obyek berlaku, sebagaimana subyektivitas visual yang hendak dimunculkan utnuk melengkapi bagaimana keunikan visual itu menjadi sesuatu yang lebih.

Proses inilah yang memperlihatkan bagaimana proses persepsi personal menjadi sesuatu yang menarik, bagaimana obyek dijalanan menjadi visual yang atraktif, secara komprehensif merupakan proses yang membuka kesadaran dimana obyek merekam lalu mengeluarkan lagi dalam bentuk yang lebih personal. Differensiasi ini yang membuat penerjemahan subyektif mempunyai bentuk yang ideal secara perseptif. Kelebihan atau kekurangan adalah nilai tambah dimana reaksi tidak sama waktu kemunculannya.
….what exactly is produced as a difference attesting to the spesific work of artistic image on the forms of social imagery? (The Future of Image,Jacques Rancière,PenerbitVerso, 2007)
Elemen subyektif ini memperkaya bagaimana pameran ini dilakukan, memperlihatkan sejauh mana social imagery sebagai cara untuk menilik jalanan dalam visual-visual yang tercipta secara fundamental. Hal ini karena kondisi pelaku akrab dengan situasi jalanan yang setiap saat ditemukan.

Melalui tehnik drawing yang diperlihatkan oleh masing-masing seniman bagaimana goresan atau garis mempengaruhi obyek secara keseluruhan dan suasana jalanan yang terjadi terekam sebagai obyek mereka. Bagaimana muncul sebagai metaphorical? Disinilah daya fikir menjadi alat utama untuk melihat bagaimana jalanan itu menjadi visual dalam bentuk karya, metafor visual atau ibarat-ibarat yang terjadi dijalanan sebagai merangsang secara subyektif senimannya.
Elemen yang mendalam ditunjukan dengan gaya masing-masing dalam mengibaratkan kehidupan jalanan dalam diri mereka.

(pengantar kuratorial, Pameran Phthalo Gallery)

Menilik Ideologi Diri

There is such a thing as art in general by virtue of a regime of identification-of disjunction-that gives visibility and signification to practices of arranging words, displaying colours, modelling the volume or evolution of bodies, which decides, for example, what a painting is, what one does by painting, and what one sees on painted wall or canvas,
Jacques Ranciere

Ketika berhadapan dengan praktek pembacaan visual, maka relasi terhadap hal-hal diluar visual ternyata mempunyai faktor yang tidak dapat ditinggalkan terutama masalah interaksi. Dimana identitas visual itu sangat signifikan saat memasukan pada kategorisasi visual tersebut. Disinilah masalah yang perlu di jabarkan secara lebih luas untuk menjawab bagaimana visual menjadi penanda ketika memasuki evolusi baru. Melalui hal inilah pameran ini mencoba melihat kembali bagaimana perkembangan visual saat ini atau mungkin hari ini.

Pemilahan tentang fakta visual hari ini merupakan proses kategorisasi dimana visualisasi mempunyai pengaruh terhadap bagimana perkembangan masyarakat memasuki evolusi baru dalam memahami dunia visual. Serta memberi pengertian baru dalam perkembangan dunia seni lukis khususnya. Disinilah pemaknaan terhadap evolusi visual menjadi sesuatu yang berarti.

Kondisi yang mendesak adalah bagaimana memilah, membuat pembacaan atas fenomena seni visual hingga menjadi sesuatu yang dapat di pahami sebagaimana adanya. Seni visual selalu menemukan titik kontingensi dengan budaya diluar hukum kreatif. Ketika benturan ini muncul maka ada sesuatu yang perlu pemilahan untuk dijadikan materi yang mendasari asumsi atas evolusi visual. Pengaruh apa yang terdapat dalam seni visual hari ini? Hingga perkembangan dunia visual mempunyai dampak personal yang luar biasa.

Hubungan terstruktur dalam melihat personalitas, khususnya dunia seniman, serta lingkungan yang mempengaruhinya merupakan efek dimana evolusi visual mempunyai kedalaman dalam mencari bentuk-bentuk baru. Titik kontingensi, atau titik pertemuan antara seni visual, budaya visual dan evolusi visual mempunyai tempat yang tidak terduga. Benturan budaya yang paling menentukan bagaimana proses kontingensi ketiga faktor itu mempunyai tempat yang spesifik.

Proses indentifikasi visual
Melihat lebih jauh bagaimana perkembangan seni visual tentu membutuhkan identifikasi secara jelas. Sehingga ditemukan dimana titik kontingensi, atau tempat bertemunya benturan dan munculnya sistem interaksi dalam proses kreatif seni visual tersebut. Berbagai gerakan muncul satu dekade terakhir, mencermati bagaimana kegairahan terhadap seni visual dalam ruang yang begitu luas, serta memodifikasi sudut pandang cara melihat seni visual tersebut.
Munculnya gerakan dan meluasnya bagaimana seni visual mempunyai arti dalam budaya yang begitu beragam membutuhkan kodifikasi, serta identifikasi. Melalui gerakan-gerakan inilah seni visual mempunyai penanda pada zamannya. Ungkapan dan gaya sebagai penanda merupakan cara terbuka untuk memilah kemunculan seni visual tersebut. Proses identifikasi gerakan terhadap kemunculan seni visual yang dianggap baru mempunyai realitas tersendiri pada zamannya, karena memang dibutuhkan untuk proses indentifikasi tersebut.

Secara budaya pengaruh televisi dan dunia virtual memasuki tahapan baru dalam evolusi visual baru, rekayasa visual dengan teknologi berkembang pesat, memenuhi kebutuhan yang seharusnya diluar kapasitas konsumsi masyarakat. Televisi sebagai tekhologi baru pengantar gambar-gambar hidup di era 70 an, memulai perkembangan evolusi visual yang dinamis. Visual yang sebelumya muncul tanpa penceritaan yang menghidupkan narasi menjadi dapat ditonton setiap saat. Bombardir tanpa henti inilah yang kemudian membuat percepatan proses seni visual menemukan evolusi dalam tahapan pengaruh teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tahun itu muncul gerakan Lowbrow, or lowbrow art, describes an underground visual art movement that arose in the Los Angeles, California, area in the late 1970s. Lowbrow is a widespread populist art movement with origins in the underground comix world, punk music, hot-rod street culture, and other subcultures.[2] Gerakan ini dicetuskan oleh Robin Williams dan Gary Panter.

Melalui deskripsi diatas low brow mencoba memilah bagaimana gerakan ini mengakomodasi seni visual yang tidak berada diranah kehidupan sosial biasa. Semacam underground komik dan musik punk serta subkultur yang demikian menjamur pada masa itu yang belum tidak terakomodir dengan tepat. Menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk dihadirkan dalam dunia mainstream yang begitu kompleks dan sudah mempunyai sisi establish yang kuat.

Proses identifikasi dengan gerakan seni merupakan cara efektif dalam membuka peluang dalam kodifikasi atau meluaskan seniman dalam memahami bagaimana tahapan evolusi visual yang sebenarnya terjadi. Sudut pandang yang begitu mendalam dan mempunyai identitasnya dalam ruang-ruang sosial selanjutnya merupakan penanda dalam budaya visual. Evolusi visual inilah yang memberi sudut pandang baru terhadap pembacaan karya-karya seniman di kemudian hari.

Kini pengaruh dunia virtual menambah dekandensi terhadap perkembangan dunia seni, jika seniman tidak mengenal teknologi merupakan beban tersendiri terhadap bagaimana pemakaian teknologi dalam karya-karya mereka. Kondisi ini mau tidak mau merupakan beban dalam prose kreatif mereka. Intuisi yang semual digunakan segara original dalam menelaah imajinasi dan menuangkan ke atas kanvas tanpa melihat sejauh mana karakter obyek yang dilukiskan dalam bentuk yang lain. Menjadi tertinggal obyek tersebut.

Seperti karakter Lara Croft dalam film-film yang telah dibuat dalam berbagai karakter personal, perubahan karakter mengikuti situasi yang hendak dimunculkan dalam penceritaan, hal ini merupakan telaah terhadap bagaimana pembentukan visual mengadaptasi karakter yang hendak dimunculakn dalam ruang yang lebih spesifik. Virtualisasi Lara Croft kembali hadir ketika bentuk tiga dimensinya mendominasi bagaimana ruang-ruang spesifik penceritaan itu muncul.Sehingga karakter karakter Lara Croft dapat ditemukan dengan mudah di internet. [3]


WOUW…! : Sebuah Ideologi Diri
Pameran ini merupakan salah satu cara bagaimana mengungkapkan identifikasi terhadap seni visual yang berkembang saat ini. Berbagai pengaruh muncul dalam seni visual hari ini merupakan tantangan bagaimana budaya visual dicerna untuk mendapatkan spesifikasi dan nilai baru yang secara personal di anut oleh seniman. Proses ideologis terhadap pemilahan yang berlangsung hingga kini merupakan tahapan dimana reaktifitas terhadap seni visual berkembang dalam dinamika yang begitu dalam merancang arah estetis pembentukan visual.

Pameran ini juga mengungkap bagaimana pemakaian tehnik drawing, tehnik sablon dan tehnik melukis telah berkembang saat ini. Serta pendekatan karakteristik obyek yang dipengaruhi oleh teknologi dan dunia virtual khususnya menjadi tolok ukur dalam pembuatan obyek. Evolusi visual dengan berbagai pengaruhnya menjadi proses pilihan estetika seni visual yang mempunyai berbagai latar dan cara pengerjaan dengan gaya kekinian. Terutama gaya komikal yang menjadi pilihan utama.

Apa yang didefinisikan Robin William kini memasuki tempat yang jauh dari tempat semula dicetuskan, identifikasi terhadap visualisasi yang dimaksud oleh gerakan tersebut merupakan hakekat bagaimana generasi berikutnya mencerna apa maksud definitif dari gerakan itu. Inilah kondisi yang harus dideskripsikan hari ini untuk mengikuti proses identifikasi berikutnya bagaimana memahami seni visual dengan evolusinya yang begitu cepat.

Ide-ide komikal muncul di sini merupakan adaptasi bagaimana pengaruh seni visual diluar material dua dimensi menjadi faktor utama dalam menghilangkan perbedaan memahami karakteristik material dalam menggunakan teknologi atau tidak dapat membuat proses visual obyek. Inilah karakteristik yang dikonstruksi secara estetis hari ini dalam pemahamannya dengan dunia visual.

Bukan kesan yang dimunculkan tetapi bagaimana proses pembentukan visual menjadi sesuatu yang benar-benar hadir dalam tatanan budaya visual yang sebenarnya ditengah lingkungan interaktif dalam masyarakat. Kondisi inilah ideologi diri perlu ditegakan untuk membentuk bagaimana estetika hari ini ditegakan menjadi identitas ditengah masyarakat yang heterogen. (Frigidanto Agung, kurator)

Catatan:
[1] The Future of The Image, Jacques Ranciere, Penerbit Verso, 2007
[2] (http://en.wikipedia.org/wiki/Lowbrow_art_movement)
[3] Lara Croft: Tomb Raider: The Man of Bronze, James Alan Gardner, DELREY, 2004

Senin, 14 Desember 2009

“Soliloquy : Contemporary Sculpture Exhibition"

IDENTITAS PADA PATUNG


Material patung memang memberi kelebihan tersendiri dalam penampakan visualnya. Jika memperhatikan bentuk patung, penggunaan material sebagai dasar pembuatan patung cenderung menjadi identitas bentuk obyek. Kekuatan pembentukan obyek dari patung mempunyai dasar dari penggunaan materialnya. Ini dapat dilihat pada pameran patung di Galeri Nasional Indonesia, Jl Medan Merdeka Timur 14 Jakarta pada tanggal 5-14 Desember 2006. Para pematung yang berpameran adalah dua pematung Indonesia dan dua pematung China akan bertemu di ruang pamer utama. Masing-masing pematung memajang karya dengan ciri khas yang telah mereka miliki. Yani Mariani Sastranegara dan Dolorosa Sinaga, dua pematung perempuan Indonesia ini membuat karya dengan material logam.

Sedangkan pematung China, GuangCi dan XiangJing lebih banyak menggunakan fibre glass kedua pematung China ini menuangkan karya-karyanya dalam bentuk realis. Ukuran patung yang dikerjakannya cenderung kecil-kecil, seperti miniatur, kesan bentuk dari tubuh sebagai obyek sangat menonjol. Sedangkan pematung Indonesia, Yani Mariani, membuat karya-karya dengan obyek tubuh yang dinamis, menampakan tubuh dengan berbagai geraknya, cenderung membuat simbol-simbol, serta bagaimana menunjukan gerak tubuh dengan atraktif. Dolorosa Sinaga, memperlihatkan karya dengan tubuh figur-figur sebagai obyeknya, cenderung mengungkap detail dari lipatan-lipatan yang melingkupi obyeknya.

Obyek yang ditampilkan dalam pameran patung ini merupakan figur-figur yang terlihat sehari-hari, yakni tubuh. Dimana secara fungsional tubuh selalu menjadi pengamatan yang tidak lepas, baik oleh tatapan mata atau khayalan dalam pikiran. Tetapi melalui ekspresi para pematung tubuh ditangkap lain. Baik menjadi abstraksi gerak ataupun realitas nyata dari representasi tubuh. Sublimasi karya yang terangkai dalam pameran ini merupakan totalitas menyeluruh dari apa yang dinamakan “Soliloquy: Contemporary Sculpture Exhibition", sebagai judul pameran.

Identitas yang ditampilkan oleh masing-masing pematung adalah kekuatan khas yang mereka bawa. Baik melalui bahan yang mereka pergunakan atau bentuk-bentuk yang mereka bawakan. Eksplorasi terhadap tubuh dalam membentuk figur merupakan dimensi presentasi untuk menjembatani keseluruhan obyek. Walaupun bentuk dari tubuh menjadi berlainan tetapi inilah citraan terbaik yang dibawakan oleh para pematung.
Melalui pameran ini discourse tubuh dapat ditangkap secara nyata, bahwa berbagai bentukan yang diinginkan oleh pematung adalah realitas yang ada dalam kehidupan. Seperti karya Yani Maryani, berjudul Mengejar Angin, 105x78x39cm, Plat Tembaga. Merupakan ekspresi tubuh terhadap keinginan yang hendak dilakukan, lekuk-lekuk yang membentuk obyek menjadi tidak nyata, menjembatani tubuh sedang melakukan satu gerak. Abstraksi tubuh tetap sebagai sentral untuk menunjukan obyektivitas dalam mewujudkan dimensi gheist (roh) karya,dalam pameran ini.

Lain dengan Guangci dan Xiangjing, bentukan nyata dari figure yang diolah secara realis melalui bahan fiberglass masih mempunyai dialektika dengan kehidupan sosial. Pengaruh budaya sangat kental sekali dalam pemilahan obyek. Apa yang sebenarnya ada dalam kehidupan sehari-hari dimuat sebagai representasi obyek. Bahkan pemakaian warna dalam patung pun sangat membantu bagaimana perspektif karya memperlihatkan discourse yang subyektif. Bagaimana persepsi mereka terhadp kondisi social tercermin dalam karya.

Melalui warna-warna yang digunakan dalam patung. Realitas sosial direpresentasikan dalam figur-figur yang cenderung bernafaskan pop art. Tetapi tidak meninggalkan nilai artistic dalam obyeknya. Seperti detail yang masih diperhatikan. Bagian-bagian tubuh yang tidak terhindarkan dari pengamatan ditunjukan dengan rapi. Seperti patung Pigherder (57x62x56) Fiberglass,Bronze, karya Guangci. Gaya realis dalam menyajikan obyeknya cukup kental. Seorang penggembala babi dengan pakaian dan celana hijau direpresentasikan secara verbal. Tanpa membuat ornament-ornamen tertentu dalam lekuk tubuhnya. Nampak obyeknya seperti miniatur penggembala yang sesungguhnya dilihat dari ukuran patung tersebut. Citra kekinian yang disajikan dalam bentuk yang cukup mungil ini membuat potret sosial kehidupan menjadi jelas. Pendekatan obyek seperti memindahkan kenyataan sosial dalam patung.

Figure yang didamba oleh masing-masing pematung ternyata membentuk realitasnya sendiri dalam ruang kehidupan yang tidak jauh dari apa yang ditangkap oleh kenyataan. Patung-patung dalam pameran ini adalah representasi sosial yang menyibak wilayah abstraksi untuk dibuat replikanya, khususnya karya Guangci dan Xiangjing. Selain itu karya Xiangjing berjudul Xiang Jing-04-1088 Club (72x31x20) Fiberglass painted, memperlihatkan seorang perempuan dengan rokok dimulut yang berjalan seorang diri dengan pakaian yang serba gelap. Sedang menghidupkan korek api. Xiangjing nampak menangkap realitas dengan mempersepsikan individu dalam gerak langkahnya. Lekuk-lekuk kain dari pakaian yang digunakannya diperhatikan secara detail.

Pameran patung ini mengungkap kekuatan artistic yang dibangun oelh masing-masing seniman dalam berkarya. Bagaimana wilayah obyektif dalam kekaryaan terlihat jelas. Persepsi terhadap obyek memunculkan pemikiran dalam berkarya memuat representasi visual dalam budaya yang berbeda nampak kental. Penanda dalam budaya nampak jelas dalam memuat rangkaian kapasitas karya.

Rabu, 11 Maret 2009

Pameran Kaligrafi

KETIKA KHOT BERBICARA
Kejadian tsunami di Aceh ternyata tidak bisa dilupakan oleh orang-orang Aceh. Bagaimana dahsyatnya bencana itu memberi pengaruh pada kehidupan selanjutnya. Terutama bagi yang merasakan saat bencana terjadi. Sayid Akram,pelukis kaligrafi asal Aceh. Melukiskan visualisasi bencana tsunami itu dengan abstraksi yang kuat,melalui sapuan kuas,bagaimana daratan ditelikung oleh air laut yang menggulung seluruh isi daratan. Hingga semua benda-benda yang biasa terlihat hanyut,terbawa air, Gelombang air itu tertancap dalam perasaan yang mendalam pada diri Sayid Akram, hingga dia memberi judul lukisannya, “Peristiwa dibumi Aceh awal abad XXI” ,oil on kanvas,300x150cm,thn 2003. Walaupun lukisan ini terkesan abstrak tetapi ada loncatan yang merekam gejolak ketika bencana terjadi. Air yang menjadi sumber bencana dibayangkan sebagai satu ledakan dahsyat yang menguburkan kehidupan. Kekuatan air inilah yang terekam dalam benak Sayid Akram,pelukis kelahiran Pidie Aceh, menjadi salah satu inspirasinya untuk melukiskan gerak air. Berawal dari tetesan embun hingga menjadi air bah yang bergerak begitu dahsyatnya, bentuk pelukisan dengan mengambil air sebagai kekuatan inpsiratif menjadi karya kaligrafi. Mulai tanggal 25-31 Agustus 2005,dipamerkan bertempat di Reform-Institute, Jl Pancoran Indah, Komplek Liga Mas Indah Kav D/3,Perdatam,Pancoran, Jakarta Selatan. Pameran yang mengambil judul Reformasi Rohani Lewat Lorong Seni, merupakan pameran tunggal Sayid Akram tahun 2005, karya yang dipamerkan sebagian besar adalah kaligrafi.

Sayid Akram mencoba secara embrional bagaimana satu titik atau setetes embun,yang menjadikan inspirasi bagi dirinya. Menjadi satu pelukisan makna melalui titik menjadi garis atau khot(bhs Arab)hingga membentuk lukisan kaligrafi yang berukuran besar-besar tersebut. Kekuatan tehnik melukis Sayid Akram mendukung untuk membuat satu ruang,dalam kanvas, berujar tentang apa yang dihadapi dalam kehidupan ini untuk diungkapkan. Seperti judul lukisan,yang mendatangkan kebenaran(al baqoroh 147),oil on kanvas, 140x110,2005. dan yang maha pemberi karunia(ali imran 8),oil on canvas,140x110,2005. Lukisan ini dominan berwarna merah,latar hitam masih sesekali sisapukan untuk membuat satu gradasi dari latar belakang, hingga nampak tulisan kaligrafis itu muncul, berjarak dengan latar. Secara tehnis cara seperti ini sering dipakai untuk melukis gaya realis, tetapi Sayid Akram mengadaptasinya untuk membuat obyek dari karya-karyanya menjadi kuat, muncul dari permukaan canvas, dan tidak terasa datar. Serta kesan tetesan embun hingga berproses menjadi garis sampai terbentuknya obyek, sangat terasa. Apa yang dimulainya dengan awalan dari embun atau titik dan menjadi garis merupakan kekuatan mendasar dari seluruh karya yang dipamerkan tersebut.

Karya yang sebagian besar mengambil dari ayat-ayat suci AlQuran ini merupakan visualisasi obyek yang memberi penjelasan bagaimana ayat-ayat dalam perkembangannya dapat dijadikan lukisan dengan berbagai bentuk yang selalu berubah-ubah. Sesuai dengan gaya yang terkesan rumit, karena garis-garis yang dibuat untuk menggambarkan satu ayat dalam kaligrafi membuat padat ‘ruang’ kanvas. Penjelajahan sapuan kanvas Sayid Akram, ikut memaknai bagaimana ruang gerak dalam kanvas menjadi maksimal dalam pembentukan obyek. Bahkan tidak ada ruang kosong dalam kanvasnya tanpa warna sedikitpun. Warna yang sering dipakai adalah hijau,merah dan biru, saling bertaut dalam bidang kanvas sebagai satu alat, saling melengkapi membentuk obyek dari ayat suci yang dilukiskannya.

Pada pameran kali ini, alumni Institut Seni Indonesia,Yogyakarta, tahun 1994 ini menggarap obyek garis menjadi kaligrafi menjadi demikian hidup, memperkaya makna penulisan kaligrafi. Tetapi ruang pamer rupanya tidak mendukung pemajangan karya karena terkesan kedodoran tertempel dengan lukisan yang demikian besar tersebut.

Pameran Robert Mason

NUANSA EKSPERIMEN VISUAL

Citra visual dapat memberi ilusi mata. Ketika efek yang didapatkan dari visual mempengaruhi, secara verbal pandangan mata, saat itulah citra yang terbentuk dalam pengertian sesungguhnya dari obyek tertangkap nyata. Seberapa jauh kekuatan efek visual berpengaruh? Kondisi psikologis yang bekerja mengungkap kekuatan efek ini merupakan estetika yang dapat ditangkap melalui citra komprehensif nilai visual yang ada. Melalui warna, cahaya, atau obyek yang ditampilkan. Pengertian mendasar tentang obyek yang sesungguhnya dapat dilihat.

Citra visual lukisan Robert Mason, dapat ditelaah lebih jauh melalui bagaimana mengurai citra visual obyektif tampilan dengan membandingkan citra nyata dari apa yang diinginkan dari realita obyek yang dibuatnya. Nuansa perbandingan ini memang dapat melihat lebih jauh bagaimana kekuatan visual obyek terbentuk.

Citra visual lukisan Robert Mason, dapat diuraikan melalui realita sesungguhnya dari obyek yang disembunyikan oleh warna yang membalut dengan citra cahaya yang membuat lukisan menjadi abstraksi fotografis.

Dua alasan diatas dapat dijadikan cara bagaimana visualisasi obyek lukisan Robert Mason yang sedang dipamerkan di Edwin galeri, Jl Kemang Raya no 21 Jakarta Selatan, terlihat sebagai abstraksi visual untuk mempermainkan subyektivitas pandangan. Pameran yang diselenggrakan dari tanggal 25 Januari sampai dengan tanggal 4 Februari 2007 dapat dilihat gaya eksperimen visualnya sebagai abstraksi obyek dengan berbagai nuansa, baik warna atau cara pencahayaan dalam fotografi.

Realita visual

Robert Mason pelukis kelahiran Yorkshire, Inggris tahun 1946, membaca obyek visual dengan warna yang sebagai ekspresi. Apa yang dituangkannya dalam kanvas merupakan kontekstualisasi citra visual yang ada dihadapan mata. Seperti judul lukisan Jakarta Grand Indonesia Series no 1 sampai dengan 12 merupakan abstraksi visual pembangunan Grand Indonesia. Dimana pembangunan gedung bertingkat itu tervisualkan diatas kanvas dengan berbagai aktivitas pekerjanya diantara scafholding, tiang-tiang besi, dan tiang gedung.

Tata cahaya dari visual yang dibentuk menampakan realita yang dapat ditangkap secara fotografis. Permainan warna yang menyebabkan obyek nampak realis adalah efek visual yang muncul. Kesadaran memunculkan obyek secara central melalui bentukan realis yang selalu ditangkap mata ketika aspek visual nyata terbentuk diatas kanvas. Citra visual semacam ini sadar atau tidak secara subyektif memang dibenturkan untuk menampakan visualisasi obyek secara komprehensif.

Aspek fotografis tidak dapat dihindarkan dalam menghayati obyek yang dihancurkan oleh warna ini. Kekuatan visual yang terbentuk memang tidak jauh dari realita yang ada dan tertangkap oleh mata dalam keadaan yang sungguhnya. Sadarkah Robert Mason telah menghancurkan citra visual sesungguhnya? Menyamarkan obyek sesungguhnya dengan warna, realita visual dapat dilihat secara mendasar. Tanpa mengganggu permainan warna yang mengungkap realita visual yang menjadi ekspresi menyeluruh dari lukisan.

Gagasan mewujudkan ekspresi visual

Melalui permainan warna yang menyebabkan citra pencahayaan muncul dalam lukisan adalah permainan subyektif Robert Mason. Dimana pilihan warna yang digunakannya merupakan ekspresi yang mewujudkan tampilan lukisan menjadi gaya visual yang diciptakannya. Representasi visual yang verbal dari obyek yang dibuatnya mempermainkan latar dimana tingkat mendasar dari lukisan harus diamati lebih dalam dan dalam untuk mengungkap secara keseluruhan apa yang diinginkan secara subyektif.

Gagasan dalam mewujudkan ekspresi visual dari lukisan Robert Mason mengalir dalam karya berseri yang diciptakannya. Melalui karya berjudul Substance&Shadow Still Life yang dibuat tahun 2006, mixed media on paper,31,5x22cm. Bagaimana wujud abstraksi dari gagasan menjadi tidak kentara atau tervisualkan dengan abstrak. Disini warna-warna menjadi tumpuan untuk mengenal wujud yang sesungguhnya dari obyek yang dibentuk lukisan.

Terlihat melalui judul yang dipakainya, Robert Mason membuat obyek secara naratif. Sesuai dengan apa yang dilihatnya. Kenyataan visual yang dilukis juga tidak jauh dari apa yang ada pada obyek, yakni aktivitas kerja para pekerja atau visualisasi obyek yang ditunjukannya dengan tata cahaya. Ekplorasi obyek dengan naratif ini membuat ruang-ruang bentukan menjadi lebih realistis mengikuti waktu yang berjalan. Bagaimana setiap orang melakukan pekerjaan secara berututan dan membuat fragmentasi atas kejadian. Menjadi gagasan utama dari visual yang ekploratif ini.

Totalitas pencapaian dalam pembentukan visual dengan mempermainkan warna menunjukan subyektivitas pelukis dalam penciptaan visual dengan ruang interaktif antara apa yang dilihatnya dengan normalitas obyek yang dibentuk. Kekuatan Robert Mason nampak obyektif dalam menghadirkan visualisasi dari apa yang ada, ditunjukannya dengan warna. Pencapaian ini merupakan intensitas penghayatan visual yang memperlihatkan kesungguhan ideal dari obyek nyata.

fotografi

PAMERAN FOTO MASA DEPAN SEBUAH MASA LAMPAU:

VISUALISASI KULTURAL

Apabila melihat gambar-gambar pada goa-goa kuno peninggalan zaman pra sejarah. Kita dapat menemukan visualisasi atas kehidupan saat itu. Bagaimana mereka, pembuat gambar, berinterprestasi atas sebuah peristiwa. Juga bagaimana kehidupan saat itu dapat dilihat secara komprehensif melalui pemahaman visual. Maka ada satu pengertian yang dapat dipahami. Bahwa mereka,manusia pra sejarah, mengandalkan tehnis visualnya untuk memberi penjelasan pada orang lain atau generasi sesudah mereka, melalui gambar yang mereka kenal. Pemahaman melalui gambar-gambar yang ada diseputar kehidupan mereka itulah yang mempermudah terbentuknya visualisasi terhadap kultur yang telah mereka bentuk. Pembentukan kultur yang secara sadar dilakukan dengan cara melukis pada dinding-dinding tembok. Menimbulkan kesan bahwa pemahaman visual terhadap subyek sadar kultur untuk membuat obyek visual pada peristiwa yang terjadi saat itu sebagai fenomena tersendiri. Karena dengan memvisualkan kejadian demi kejadian akan memberi dampak pada orang lain, untuk lebih mengetahui, bahwa ada kehidupan lain diluar lingkungan mereka. Satu kelebihan dari apa yang telah dilakukan subyek sadar kultur untuk membagi peristiwa dengan generasi berikutnya, karena apa yang dilukiskan pada dinding-dinding goa itu mempunyai kesan, visualisasi literature untuk kultur sebagai ikatan emosional untuk mengabadikan kejadian yang telah mereka alami. Hingga kini kejadian masa lalu itu dapat ditemukan dan dijadikan sebagai sumber visual manusia zaman tersebut. Konteks visualisasi kini telah berubah menjadi satu alat untuk memperlihatkan kultur dengan alat potret atau kamera, baik itu kamera video atau kamera fotografi. Pemakaian tehnologi untuk membuat satu rancang bangun visual kultur telah berubah menjadi fenomena visual yang dapat menjadikan perdebatan interpretative antar subyek yang mengkaji fenomena visual kultur tersebut.

PENDEKATAN VISUAL UNTUK INAGURASI KULTUR

Apa yang kita dapatkan pada pameran foto masa depan sebuah masa lampau adalah bagaimana membuat satu komunikasi visual terhadap realita sehari-hari terhadap obyek yang ,mau tidak mau, harus kita hadapi setiap saat. Seperti orang berpakaian, tatanan rumah atau lingkungan sekitar dimana kita berdiri. Tiga hal yang dapat dilihat sebagai obyek yang sesaat melintas dihadapan mata itu, merupakan tuntutan kondisi dimana mata tidak terhindarkan untuk mengamati, sejauh mana pengertian terhadap hal yang ditawarkan diatas dapat kita pahami. Secara verbal dapat dilihat pada karya foto Keke Tumbuan, frame demi frame dapat kita melihat bagaimana obyek fotografis pada visualisasi foto berpakaian keragaman cara berpakaian menunjuk pada ikon: kultur macam apa dalam karya tersebut? Ekspresi masing-masing obyek juga menunjuk pada gambaran tertentu dimana lokalitas tempat membantu obyek untuk meluapkan emosi didepan kamera. Disini juga menjadi pertimbangan lain, mengapa? Dinamisasi gerak kultur begitu direpresentasikan secara jujur, tanpa pertimbangan lain kecuali artistic, saat penciptaan visual digunakan. Bukan tidak berarti tanpa estetika yang menjadi tujuan, karena hanya satu format itu terjadi peristiwa yang diabadikan untuk foto karya itu.

Dinamika penciptaan dengan ruang yang berubah-ubah ini juga salah satu alat untuk menunjukan revitalisasi karya yang berulang-ulang. Serta membuat satu tujuan bagaimana presentasi yang dihasilkan dari obyek yang begitu beragam menghasilkan estetika yang mempunyai kualitas tinggi. Permasalahan ruang dalam karya Keke Tumbuan juga alat untuk memberi satu masukan bagaimana karya memberi format presentasi yang ekspresif sesuai dengan dasar ruang penciptaan, secara plastis, serta natural dalam pembuatan dialog visual. Pendekatan ruang memang menjadi dasar yang subyektif dalam fotografi selain dapat sebagai presentasi obyek untuk menampilkan perbedaan ekspresi juga tampilan visual yang membutuhkan latar yang berbeda. Disini obyek secara fotografis akan sadar bagaimana mengadaptasi sekeliling tanpa harus mempertimbangkan tatanan subyektif, apa yang harus dilakukan ketika menjadi obyek visual, spontannitas ini adalah factor yang penting dan menunjuk pada ikon kultur sesungguhnya, tentang tempat kejadian dan peristiwa yang diabadikan sesuai dengan realita saat itu. Tanpa memperlakukan obyek visual secara khusus.

Jika pengambilan obyek seperti ini dilakukan terus-menerus, maka penciptaan obyek realistis untuk presentasi foto secara cultural menjadi nampak nyata. Bagaimana kultur yang sedang dijadikan obyek itu, kebiasaan macam apa yang sedang menjadi obyek, serta tempat macam apa yang menjadi kebiasaan pengambilan obyek. Semua akan menjadi dasar berpikir untuk membuat paradigma dan keluasan representasi wacana bagi inagurasi cultural yang sedang berlangsung pada obyek. Disinilah ikon visual kultur mendapatkan obyek yang murni, bagaimana kehidupan sehari-hari menjadi presentasi dengan wajar tanpa lips sign yang berlebihan. Wacana akan mendapatkan sumber riset yang mempunyai bentuk yang tepat.

Presentasi obyektif ini menunjuk pada kedalaman atau ikon sesungguhnya dari kultur yang sedang berlangsung dalam realita obyektif, saat pengambilan gambar terjadi. Dimensi estetika tentu akan menjadi sisi natural dalam penciptaan visual ini karena obyektivitas fotografis terbentuk tanpa memberi sentuhan bombastis. Seperti dalam foto salon yang harus merepresentasikan pengulangan subyektif untuk mendapatkan adegan dari penciptaan frame yang diinginkan. Sebenarnya hal semacam inilah yang dapat menjadi paradigma terhadap bagaimana inagurasi cultural harus diperlihatkan. Suatu kejadian yang sesuai dengan atmosfer alam dan tanpa subyektivitas untuk pembentukan visualnya. Walaupun membutuhkan presentasi provokatif untuk membuat obyek foto mendapatkan gerak yang natural dalam pengambilan gambar.

Melalui presentasi realistis inilah penanda untuk kultur yang realistis dapat diamati dengan cermat. Bagaimana kejadian dan tempat yang dapat menjadikan representasi dari visual terwujud. Dinamisasi ikon ini dpat dilihat dari waktu ke waktu, berubah atau tidak, jika mendapatkan penanda yang stagnan dalam satu masa maka saat itulah petnda dapat digunakan mejadi ikon yang sesungguhnya, ikon murni dalam kultur. Dengan demikian riset tentang penanda akan mendapatkan satu titik visual yang jelas, tepat sasaran dan tidak membutuhkan energi banyak. Jika ikon visual hasil fotografi diikuti secara runtut dan verbal. Juga melalui segmen semacam ini akan menjadi infrastruktur untuk pemetaan ikon cultural yang lebih beradab,tanpa harus riset yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Latar belakang fotografi yang spontan ini memiliki ruang tersendiri untuk mewujudkan satu esei fotografi yang ideal terhadap tekanan social untuk menghadirkan subyektivitas yang diluar naturallitas kultur.

Melalui karya –karya pameran ini dapat dilihat bagaimana ikon kultural diperlihat secara sadar dalam ruang subyektif penciptaan karya. Naturalitas pengambilan visual juga adegan obyek serta tempat yang biasa digunakan untuk pengambilan gambar adalah sekumpulan syarat pembentukan penanda dalam realita ikon kultur. Disini kesimpulan dapat diambil dengan wacana yang cenderung sosiologis dan sosiokulturnya yang menjadi latar belakang.