Selasa, 10 Maret 2009

tentang PINK SWINK PARK

sebatas itukah pengertian estetika tubuh?

Tubuh merupakan materi esensiil dalam dinamika gerak kehidupan. Bagaimanapun roda yang mendinamisir rantai kehidupan menggunakan tubuh sebagai inti pergerakan hidup. Tubuh disini adalah alat untuk mencapai suatu maksud dan tujuan. Ketika tubuh adalah subyektivitas yang membuat ruang bagi dirinya. Disinilah sentralitas utopis mulai berlaku, segala sesuatunya menjadi estetis, jika dihubungkan dengan norma seni. Tetapi bagaimanakah seni yang sesungguhnya, yang dapat memenuhi pengertian seni, karena keluasan arti estetika yang meruang,apapun pengertian tentang tubuh ketika membuat satu analitik tentang estetika selalu bertautan dengan materi lain yang menjadi obyek dari tubuh itu sendiri.

Tulisan Mudji Sutrisno pada artikel budaya Kompas,Minggu 30 Oktober 2005, yang berjudul Estetika Tubuh? Memberi satu pengertian esensiil tentang tubuh sebagai tubuh dalam pengertian tubuh sebagai materi yang sangat personalized,melihat tubuh dalam ruang tubuh itu sendiri, tanpa membuat satu keluasan bagaimana tubuh harus bertaut dengan otoritas lain, termasuk dinamika social yang selalu menghancurkan efek kebertubuhan itu sendiri. Disini hakekat tubuh menjadi unggul, seperti Nietzche menyebut sebagai adi manusia. Pada hakekatnya ritus tubuh adalah dinamisasi dari suatu pola dimana roda gerak kehidupan ini timbul-tenggelam,atas-bawah, dan menjadikan ruang analitik sosial berkembang dalam atmosfernya masing-masing.

Suatu yang essensiil memang ketika kita membicarakan tubuh sebagai materi, seperti apa yang diungkapkan oleh Mudji Sutrisno. Tetapi apakah beban artikulatif kekinian yang dapat dikaji dan ditelaah oleh publik yang mengandaikan tubuh sebagai dinamika gerak dalam ruang kehidupannya seperti itu, oleh sebab artikel itu tidak murni menghubungkan tubuh sebagai pure tekstual tentang essensi tubuh. Disini adalah permasalahan mendasar bagaimana atmosfer sosial ikut mengejawantahkan tentang arus dinamisasi tubuh,oleh sebab tubuh dapat menjadi subyek ataupun obyek dalam dilemma kehidupan sosial. Melalui atmosfer semacam inilah filosof mengambil tema tubuh sebagai sentralitas tema dalam diskursus obyek tentang manusia. Bukankah begitu?

Tubuh dalam Pingswink Park

Tubuh hanya suatu batasan representasi bagi kehadiran identitas subyektif cultural, bagaimana mengejawantahkan tubuh adalah memberi pengertian tentang dinamika obyektif terhadap apa yang subyek hadapi secara cultural saat itu. Seperti respon tubuh terhadap obyek yang menjadi dinamisasi terhadap kehidupan. Seperti karya pingswing park, foto digital, Agus Suwage yang dipamerkan di CP Biennale, representasi tubuh yang digunakan dalam imajinasi dalam ruang yeng menggerakan fantasi setiap penonton atau subyek yang menikmati karya tersebut. Bagaimana tidak? Ketika subyek yang datang dan memperhatikan karya, respon awal adalah bagaimana mengembara dengan karya itu dalam dunia fantasi yang tidak ada jembatan lagi untuk diungkap.

Tetapi karena representasi yang dipakai adalah suatu otoritas simpatis publik yang selalu hadir dalam infotainment, dalam keadaan tanpa busana maka tidak dapat tidak ketercelaan dalam karya menjadi bahan hujatan. Baik oleh kaum komunal yang merasa menguasai aturan-aturan ilahiah ataupun kaum anti pornografi. Karena obyek tanpa busana laki-laki dan perempuan dalam karya tersebut.

Disini tubuh hanya sebagai representasi atas batasan seni, ketika dibenturkan dengan aturan agama ataupun aturan yang mengundang norma sosial lain tentu akan berdampak bagi wacana kehidupan sosial. Benturan tersebut sebenarnya adalah realitas yang harus dihadapi untuk menguraikan ataupun memberi penjelasan apa fungsi tubuh dalam karya itu bukan atas representasi identitas sang model. Hal ini merupakan kewajiban penyelenggara acara bagaimana memberi pengertian terhadap identitas karya serta batasan terhadap dimensi seni yang memajang tubuh sebagai obyek.

Benturan realistis terhadap kebertubuhan sebagai obyek karya seni, sementara ini belum dikenal oleh kalangan masyarakat secara luas. Karena menyangkut bagaimana imej tubuh dalam obyektivitas untuk menerjemahkan batasan pemakaian otoritas tubuh sebagai obyek karya seni. Mudji Sutrisno tidak melihat hal ini sebagai satu diskursus bahwa realita sosial dinegeri ini belum bisa membuat satu diskursus kebertubuhan tanpa memakai hiasan yang lebih fashionable, sehingga yang terlihat bukan tubuh yang aslinya tetapi bungkus tubuh itu sendiri. Disini diskursus dapat dikembangkan menjadi satu realita yang lebih jelas untuk disimak oleh publik, bahwa tubuh mempunyai realitanya tersendiri tanpa harus menghubungkan dengan subyektivitas diluar tubuh.

Karena ketidakjelasan pembelaan dalam penyelenggaraan acara seni, yang notabene adalah acara internasional itu, maka karya Agus Suwage menjadi korban. Harus ditutup setelah satu minggu acara dibuka untuk umum. Hingga akhir acara tidak ada pembelaan dari penyelenggara tentang maksud atau tujuan karya dipajang dalam acara tersebut. Pertanyaan yang muncul tentu akan diluar konteks dari maksud bagaimana karya semacam itu dapat diakui sebagai karya seni. Omong kosong, tentu jika tidak ada diskursus tentang karya yang berbau ketelanjangan dan mempunyai effek pornografis dipajang dalam event internasional tersebut? Hingga hari inipun setelah satu bulan lebih event itu berakhir dalam diskursus karya pingswing park adalah pornografi. Bukan begitu? Oleh sebab kalangan yang berhak menjelaskan tidak sedikitpun mengeluarkan pengertian terhadap karya, setelah mendapat pertanyaan bahkan dikecam habis oleh segelintir orang yang menganut paham komunal bahwa aturan yang dipahaminya adalah aturan yang paling benar dalam hidup, sedangkan pingswing park menyalahi aturan hidup mereka? Bagaimana pengertian tubuh disini?

Tiran, Estetika tubuh diruang publik.

Jika tidak ada diskursus yang dapat memberi satu pengertian terhadap karya pingswing park pada realita kehidupan sosial, maka representasi tubuh dalam karya semacam itu hanya menjadi bahan hujatan kelompok masyarakat yang mengaku selalu benar jika melakukan kegiatan anarkis atas nama agama. Bukankah ini tiran? Kejelasan tentang representasi tubuh dalam karya pingswink park memang harus menjadi diskursus seni hingga dapat menjelaskan sejauh mana batasan antara pornografi dan suatu aksi estetik terhadap tubuh.

Mudji Sutrisno memang telah memberi satu pengertian fragmantal terhadap tubuh yang memberi pembatasan lebih teoritik dan imajinatif dalam realitas sosial yang ada selama ini. Tetapi untuk kasus pinkswink park , juga harus disimak bagaimana estetika diruang publik harus diberi diskursus untuk menjelaskan pada kelompok awam tentang tubuh yang di jadikan karya seni. Bukankah ini tugas filosof juga?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar