Rabu, 11 Maret 2009

tentang PINKSWINK PARK

IDE(O)LOGI BIENALLE

Sepertinya tidak akan terlihat lagi karya-karya yang melahirkan kontroversi dalam dunia senirupa. Melihat pameran senirupa yang berlangsung satu-dua tahun terakhir. Bagaimana ‘perlawanan’ seniman terhadap realita sosial yang tidak menunjuk pada arah yang memberi nilai pada benturan idealitas artistik. Kondisi ini tidak dapat dilihat dari satu dimensi, oleh sebab realita sosial tidak merangsang munculnya karya-karya yang membawa muatan artistik

Kasus penurunan karya Agus Suwage, pinswink,ternyata mempunyai akibat yang ‘menyesakan nafas’ dalam kasus senirupa Indonesia. Efek dari penurunan ini tidak hanya berdampak dalam lingkungan para perupa tetapi juga insiden yang tidak akan pernah terlupakan.

Diskusi di mailing list tentang Masa depan seni rupa, kebudayaan dan kehidupan bersama kita, beberapa waktu lalu. Salah seorang co-kurator cp bienalle juga mengeluarkan pendapatnya dalam mailing list ini untuk memberi jalan keluar bagaimana tindakan ini harus dapat dicegah lebih dini : “Waktu kita tidak banyak, sebenarnya: apakah strategi minimal yang harus kita miliki, sebelum kejadian berikut terjadi? Baru dua hal minimal terpikirkan oleh saya: 1) konsensus untuk tidak "takut", dan lebih berpikir bagaimana melawan daripada bagaimana mengalah; dan 2) mengambil keputusan melalui konsultasi bersama, supaya bisa kita tanggung bersama sebagai satu front. Mungkin perlu ada daftar orang "minimal" yang harus ditanyai sebelum masing-masing mengambil keputusan ketika menghadapi ancaman serupa.” (Marco Kusumawijaya,publikseni,2005)

Satu kejadian diatas merupakan representasi dari kejadian yang membenturkan norma seni dan norma social lain. Ukuran norma seni bukan berarti apa-apa dalam norma social atau norma-norma tertentu yang sekali waktu berubah arah karena digunakan untuk mendorong terjadinya kontradiksi dalam norma social itu sendiri. Dimana norma seni ditabrakan dengan norma agama, yang notabene sangat berlawanan.“Lalu mereka mulai mencari berbagai alasan yang kira-kira dekat dengan ukuran norma mereka dan sudah dilanggar oleh seniman2 besar itu.Tentu saja dari sudut pandang agama, puritanisme pasti isue yang termudah untuk di tiupkan kepermukaan. Maka terjadilah hal-hal yang sangat kontradiktif. Mereka menganggap karya Agus Suwage yang memperlihatkan sedikit aurat, (bahkan alat kelaminnya ditutup dengan warna) sebagai hal,” ungkap Teguh Ostenrik,perupa, dalam publikseni,2005.

Ancaman dari pihak luar cp bienalle yang berupa tekanan untuk menutup karya Agus Suwage merupakan tidakan intervensi dari luar dan merusak berbagai norma pameran yang menitik beratkan pada artistik karya yang telah terpasang,“memang,senirupa kontemporer Indonesia paska reformasi kini berhadapan dengan masyarakatnya
sendiri..bukan lagi dari pihak militer, akan tetapi: kelompok etnis dan kelompok agama...persis situasi tahun 1947-48 ketika Indonesia baru merdeka dan euphoria kemerdekaan merebak dimana-mana..
.” ungkap Aminudin TH Siregar seorang curator dari Bandung,dalam millist publikseni,2005.

Lalu siapakah yang harus membela karya para perupa dalam event besar se-kelas cp bienalle. Jika ada intervensi diluar norma seni Rifki Effendi, curator gallery cemara 6 Jakarta mengungkapkan:“Bahwa tiap penyelenggaraan pameran seperti ini,kuratorlah yang paling berhak dan bertanggung jawab.Pertama kurator berhak memilih karya dan juga mampu mempertanggung jawabkannya ke publik luas. Di ejawantahkan dalam program-program publik dan informasi. Jadi bila ada suatu insiden kurator dan organisasi pameran pertama kali yang harus bereaksi dan mengambil
strategi. Kita tahu bahwa dalam CP Bienalle para pengunjung bingung
tentang apa maksud karya ini dipamerkan bahkan tersesat. Jadi tafsir pertama karya Pinkswing Park bukan dari kurator tapi dari wartawan Infotainmen. Disini lah etik profesi jadi sangat penting. Apalagi ketika karya ditutup itu harus dilakukan atas
persetujuan kuratornya dgn yang empu nya karya: seniman. Disini seniman secara hukum bisa menuntut penyelenggara.”

Pertanggung jawaban atas kasus penurunan karya Agus Suwage merupakan salah satu symbol bagaimana norma seni terkalahkan dengan intervensi massa diluar kaum senimannya. Apakah peristiwa ini hanya meninggalkan sesak nafas tanpa penyelesaian? Solidaritas memang dibutuhkan untuk meredam sikap arogan, curator independent, Hendro Wiyanto mengungkapkan: “solidaritas moral berupa tindakan langsung terjun ke tempat pameran oleh kalangan seniman sangatlah penting, untuk melanjutkan apa yang menjadi keprihatinan kita bersama terhadap kasus ancam-mengancam berdasarkan sebuah absolutisme atau bahkan totalitarianisme tafsir kalangan tertentu seperti terjadi belakangan ini.”(Hendro Wiyanto,publikseni,2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar