Rabu, 11 Maret 2009

Pameran Kaligrafi

KETIKA KHOT BERBICARA
Kejadian tsunami di Aceh ternyata tidak bisa dilupakan oleh orang-orang Aceh. Bagaimana dahsyatnya bencana itu memberi pengaruh pada kehidupan selanjutnya. Terutama bagi yang merasakan saat bencana terjadi. Sayid Akram,pelukis kaligrafi asal Aceh. Melukiskan visualisasi bencana tsunami itu dengan abstraksi yang kuat,melalui sapuan kuas,bagaimana daratan ditelikung oleh air laut yang menggulung seluruh isi daratan. Hingga semua benda-benda yang biasa terlihat hanyut,terbawa air, Gelombang air itu tertancap dalam perasaan yang mendalam pada diri Sayid Akram, hingga dia memberi judul lukisannya, “Peristiwa dibumi Aceh awal abad XXI” ,oil on kanvas,300x150cm,thn 2003. Walaupun lukisan ini terkesan abstrak tetapi ada loncatan yang merekam gejolak ketika bencana terjadi. Air yang menjadi sumber bencana dibayangkan sebagai satu ledakan dahsyat yang menguburkan kehidupan. Kekuatan air inilah yang terekam dalam benak Sayid Akram,pelukis kelahiran Pidie Aceh, menjadi salah satu inspirasinya untuk melukiskan gerak air. Berawal dari tetesan embun hingga menjadi air bah yang bergerak begitu dahsyatnya, bentuk pelukisan dengan mengambil air sebagai kekuatan inpsiratif menjadi karya kaligrafi. Mulai tanggal 25-31 Agustus 2005,dipamerkan bertempat di Reform-Institute, Jl Pancoran Indah, Komplek Liga Mas Indah Kav D/3,Perdatam,Pancoran, Jakarta Selatan. Pameran yang mengambil judul Reformasi Rohani Lewat Lorong Seni, merupakan pameran tunggal Sayid Akram tahun 2005, karya yang dipamerkan sebagian besar adalah kaligrafi.

Sayid Akram mencoba secara embrional bagaimana satu titik atau setetes embun,yang menjadikan inspirasi bagi dirinya. Menjadi satu pelukisan makna melalui titik menjadi garis atau khot(bhs Arab)hingga membentuk lukisan kaligrafi yang berukuran besar-besar tersebut. Kekuatan tehnik melukis Sayid Akram mendukung untuk membuat satu ruang,dalam kanvas, berujar tentang apa yang dihadapi dalam kehidupan ini untuk diungkapkan. Seperti judul lukisan,yang mendatangkan kebenaran(al baqoroh 147),oil on kanvas, 140x110,2005. dan yang maha pemberi karunia(ali imran 8),oil on canvas,140x110,2005. Lukisan ini dominan berwarna merah,latar hitam masih sesekali sisapukan untuk membuat satu gradasi dari latar belakang, hingga nampak tulisan kaligrafis itu muncul, berjarak dengan latar. Secara tehnis cara seperti ini sering dipakai untuk melukis gaya realis, tetapi Sayid Akram mengadaptasinya untuk membuat obyek dari karya-karyanya menjadi kuat, muncul dari permukaan canvas, dan tidak terasa datar. Serta kesan tetesan embun hingga berproses menjadi garis sampai terbentuknya obyek, sangat terasa. Apa yang dimulainya dengan awalan dari embun atau titik dan menjadi garis merupakan kekuatan mendasar dari seluruh karya yang dipamerkan tersebut.

Karya yang sebagian besar mengambil dari ayat-ayat suci AlQuran ini merupakan visualisasi obyek yang memberi penjelasan bagaimana ayat-ayat dalam perkembangannya dapat dijadikan lukisan dengan berbagai bentuk yang selalu berubah-ubah. Sesuai dengan gaya yang terkesan rumit, karena garis-garis yang dibuat untuk menggambarkan satu ayat dalam kaligrafi membuat padat ‘ruang’ kanvas. Penjelajahan sapuan kanvas Sayid Akram, ikut memaknai bagaimana ruang gerak dalam kanvas menjadi maksimal dalam pembentukan obyek. Bahkan tidak ada ruang kosong dalam kanvasnya tanpa warna sedikitpun. Warna yang sering dipakai adalah hijau,merah dan biru, saling bertaut dalam bidang kanvas sebagai satu alat, saling melengkapi membentuk obyek dari ayat suci yang dilukiskannya.

Pada pameran kali ini, alumni Institut Seni Indonesia,Yogyakarta, tahun 1994 ini menggarap obyek garis menjadi kaligrafi menjadi demikian hidup, memperkaya makna penulisan kaligrafi. Tetapi ruang pamer rupanya tidak mendukung pemajangan karya karena terkesan kedodoran tertempel dengan lukisan yang demikian besar tersebut.

Pameran Robert Mason

NUANSA EKSPERIMEN VISUAL

Citra visual dapat memberi ilusi mata. Ketika efek yang didapatkan dari visual mempengaruhi, secara verbal pandangan mata, saat itulah citra yang terbentuk dalam pengertian sesungguhnya dari obyek tertangkap nyata. Seberapa jauh kekuatan efek visual berpengaruh? Kondisi psikologis yang bekerja mengungkap kekuatan efek ini merupakan estetika yang dapat ditangkap melalui citra komprehensif nilai visual yang ada. Melalui warna, cahaya, atau obyek yang ditampilkan. Pengertian mendasar tentang obyek yang sesungguhnya dapat dilihat.

Citra visual lukisan Robert Mason, dapat ditelaah lebih jauh melalui bagaimana mengurai citra visual obyektif tampilan dengan membandingkan citra nyata dari apa yang diinginkan dari realita obyek yang dibuatnya. Nuansa perbandingan ini memang dapat melihat lebih jauh bagaimana kekuatan visual obyek terbentuk.

Citra visual lukisan Robert Mason, dapat diuraikan melalui realita sesungguhnya dari obyek yang disembunyikan oleh warna yang membalut dengan citra cahaya yang membuat lukisan menjadi abstraksi fotografis.

Dua alasan diatas dapat dijadikan cara bagaimana visualisasi obyek lukisan Robert Mason yang sedang dipamerkan di Edwin galeri, Jl Kemang Raya no 21 Jakarta Selatan, terlihat sebagai abstraksi visual untuk mempermainkan subyektivitas pandangan. Pameran yang diselenggrakan dari tanggal 25 Januari sampai dengan tanggal 4 Februari 2007 dapat dilihat gaya eksperimen visualnya sebagai abstraksi obyek dengan berbagai nuansa, baik warna atau cara pencahayaan dalam fotografi.

Realita visual

Robert Mason pelukis kelahiran Yorkshire, Inggris tahun 1946, membaca obyek visual dengan warna yang sebagai ekspresi. Apa yang dituangkannya dalam kanvas merupakan kontekstualisasi citra visual yang ada dihadapan mata. Seperti judul lukisan Jakarta Grand Indonesia Series no 1 sampai dengan 12 merupakan abstraksi visual pembangunan Grand Indonesia. Dimana pembangunan gedung bertingkat itu tervisualkan diatas kanvas dengan berbagai aktivitas pekerjanya diantara scafholding, tiang-tiang besi, dan tiang gedung.

Tata cahaya dari visual yang dibentuk menampakan realita yang dapat ditangkap secara fotografis. Permainan warna yang menyebabkan obyek nampak realis adalah efek visual yang muncul. Kesadaran memunculkan obyek secara central melalui bentukan realis yang selalu ditangkap mata ketika aspek visual nyata terbentuk diatas kanvas. Citra visual semacam ini sadar atau tidak secara subyektif memang dibenturkan untuk menampakan visualisasi obyek secara komprehensif.

Aspek fotografis tidak dapat dihindarkan dalam menghayati obyek yang dihancurkan oleh warna ini. Kekuatan visual yang terbentuk memang tidak jauh dari realita yang ada dan tertangkap oleh mata dalam keadaan yang sungguhnya. Sadarkah Robert Mason telah menghancurkan citra visual sesungguhnya? Menyamarkan obyek sesungguhnya dengan warna, realita visual dapat dilihat secara mendasar. Tanpa mengganggu permainan warna yang mengungkap realita visual yang menjadi ekspresi menyeluruh dari lukisan.

Gagasan mewujudkan ekspresi visual

Melalui permainan warna yang menyebabkan citra pencahayaan muncul dalam lukisan adalah permainan subyektif Robert Mason. Dimana pilihan warna yang digunakannya merupakan ekspresi yang mewujudkan tampilan lukisan menjadi gaya visual yang diciptakannya. Representasi visual yang verbal dari obyek yang dibuatnya mempermainkan latar dimana tingkat mendasar dari lukisan harus diamati lebih dalam dan dalam untuk mengungkap secara keseluruhan apa yang diinginkan secara subyektif.

Gagasan dalam mewujudkan ekspresi visual dari lukisan Robert Mason mengalir dalam karya berseri yang diciptakannya. Melalui karya berjudul Substance&Shadow Still Life yang dibuat tahun 2006, mixed media on paper,31,5x22cm. Bagaimana wujud abstraksi dari gagasan menjadi tidak kentara atau tervisualkan dengan abstrak. Disini warna-warna menjadi tumpuan untuk mengenal wujud yang sesungguhnya dari obyek yang dibentuk lukisan.

Terlihat melalui judul yang dipakainya, Robert Mason membuat obyek secara naratif. Sesuai dengan apa yang dilihatnya. Kenyataan visual yang dilukis juga tidak jauh dari apa yang ada pada obyek, yakni aktivitas kerja para pekerja atau visualisasi obyek yang ditunjukannya dengan tata cahaya. Ekplorasi obyek dengan naratif ini membuat ruang-ruang bentukan menjadi lebih realistis mengikuti waktu yang berjalan. Bagaimana setiap orang melakukan pekerjaan secara berututan dan membuat fragmentasi atas kejadian. Menjadi gagasan utama dari visual yang ekploratif ini.

Totalitas pencapaian dalam pembentukan visual dengan mempermainkan warna menunjukan subyektivitas pelukis dalam penciptaan visual dengan ruang interaktif antara apa yang dilihatnya dengan normalitas obyek yang dibentuk. Kekuatan Robert Mason nampak obyektif dalam menghadirkan visualisasi dari apa yang ada, ditunjukannya dengan warna. Pencapaian ini merupakan intensitas penghayatan visual yang memperlihatkan kesungguhan ideal dari obyek nyata.

fotografi

PAMERAN FOTO MASA DEPAN SEBUAH MASA LAMPAU:

VISUALISASI KULTURAL

Apabila melihat gambar-gambar pada goa-goa kuno peninggalan zaman pra sejarah. Kita dapat menemukan visualisasi atas kehidupan saat itu. Bagaimana mereka, pembuat gambar, berinterprestasi atas sebuah peristiwa. Juga bagaimana kehidupan saat itu dapat dilihat secara komprehensif melalui pemahaman visual. Maka ada satu pengertian yang dapat dipahami. Bahwa mereka,manusia pra sejarah, mengandalkan tehnis visualnya untuk memberi penjelasan pada orang lain atau generasi sesudah mereka, melalui gambar yang mereka kenal. Pemahaman melalui gambar-gambar yang ada diseputar kehidupan mereka itulah yang mempermudah terbentuknya visualisasi terhadap kultur yang telah mereka bentuk. Pembentukan kultur yang secara sadar dilakukan dengan cara melukis pada dinding-dinding tembok. Menimbulkan kesan bahwa pemahaman visual terhadap subyek sadar kultur untuk membuat obyek visual pada peristiwa yang terjadi saat itu sebagai fenomena tersendiri. Karena dengan memvisualkan kejadian demi kejadian akan memberi dampak pada orang lain, untuk lebih mengetahui, bahwa ada kehidupan lain diluar lingkungan mereka. Satu kelebihan dari apa yang telah dilakukan subyek sadar kultur untuk membagi peristiwa dengan generasi berikutnya, karena apa yang dilukiskan pada dinding-dinding goa itu mempunyai kesan, visualisasi literature untuk kultur sebagai ikatan emosional untuk mengabadikan kejadian yang telah mereka alami. Hingga kini kejadian masa lalu itu dapat ditemukan dan dijadikan sebagai sumber visual manusia zaman tersebut. Konteks visualisasi kini telah berubah menjadi satu alat untuk memperlihatkan kultur dengan alat potret atau kamera, baik itu kamera video atau kamera fotografi. Pemakaian tehnologi untuk membuat satu rancang bangun visual kultur telah berubah menjadi fenomena visual yang dapat menjadikan perdebatan interpretative antar subyek yang mengkaji fenomena visual kultur tersebut.

PENDEKATAN VISUAL UNTUK INAGURASI KULTUR

Apa yang kita dapatkan pada pameran foto masa depan sebuah masa lampau adalah bagaimana membuat satu komunikasi visual terhadap realita sehari-hari terhadap obyek yang ,mau tidak mau, harus kita hadapi setiap saat. Seperti orang berpakaian, tatanan rumah atau lingkungan sekitar dimana kita berdiri. Tiga hal yang dapat dilihat sebagai obyek yang sesaat melintas dihadapan mata itu, merupakan tuntutan kondisi dimana mata tidak terhindarkan untuk mengamati, sejauh mana pengertian terhadap hal yang ditawarkan diatas dapat kita pahami. Secara verbal dapat dilihat pada karya foto Keke Tumbuan, frame demi frame dapat kita melihat bagaimana obyek fotografis pada visualisasi foto berpakaian keragaman cara berpakaian menunjuk pada ikon: kultur macam apa dalam karya tersebut? Ekspresi masing-masing obyek juga menunjuk pada gambaran tertentu dimana lokalitas tempat membantu obyek untuk meluapkan emosi didepan kamera. Disini juga menjadi pertimbangan lain, mengapa? Dinamisasi gerak kultur begitu direpresentasikan secara jujur, tanpa pertimbangan lain kecuali artistic, saat penciptaan visual digunakan. Bukan tidak berarti tanpa estetika yang menjadi tujuan, karena hanya satu format itu terjadi peristiwa yang diabadikan untuk foto karya itu.

Dinamika penciptaan dengan ruang yang berubah-ubah ini juga salah satu alat untuk menunjukan revitalisasi karya yang berulang-ulang. Serta membuat satu tujuan bagaimana presentasi yang dihasilkan dari obyek yang begitu beragam menghasilkan estetika yang mempunyai kualitas tinggi. Permasalahan ruang dalam karya Keke Tumbuan juga alat untuk memberi satu masukan bagaimana karya memberi format presentasi yang ekspresif sesuai dengan dasar ruang penciptaan, secara plastis, serta natural dalam pembuatan dialog visual. Pendekatan ruang memang menjadi dasar yang subyektif dalam fotografi selain dapat sebagai presentasi obyek untuk menampilkan perbedaan ekspresi juga tampilan visual yang membutuhkan latar yang berbeda. Disini obyek secara fotografis akan sadar bagaimana mengadaptasi sekeliling tanpa harus mempertimbangkan tatanan subyektif, apa yang harus dilakukan ketika menjadi obyek visual, spontannitas ini adalah factor yang penting dan menunjuk pada ikon kultur sesungguhnya, tentang tempat kejadian dan peristiwa yang diabadikan sesuai dengan realita saat itu. Tanpa memperlakukan obyek visual secara khusus.

Jika pengambilan obyek seperti ini dilakukan terus-menerus, maka penciptaan obyek realistis untuk presentasi foto secara cultural menjadi nampak nyata. Bagaimana kultur yang sedang dijadikan obyek itu, kebiasaan macam apa yang sedang menjadi obyek, serta tempat macam apa yang menjadi kebiasaan pengambilan obyek. Semua akan menjadi dasar berpikir untuk membuat paradigma dan keluasan representasi wacana bagi inagurasi cultural yang sedang berlangsung pada obyek. Disinilah ikon visual kultur mendapatkan obyek yang murni, bagaimana kehidupan sehari-hari menjadi presentasi dengan wajar tanpa lips sign yang berlebihan. Wacana akan mendapatkan sumber riset yang mempunyai bentuk yang tepat.

Presentasi obyektif ini menunjuk pada kedalaman atau ikon sesungguhnya dari kultur yang sedang berlangsung dalam realita obyektif, saat pengambilan gambar terjadi. Dimensi estetika tentu akan menjadi sisi natural dalam penciptaan visual ini karena obyektivitas fotografis terbentuk tanpa memberi sentuhan bombastis. Seperti dalam foto salon yang harus merepresentasikan pengulangan subyektif untuk mendapatkan adegan dari penciptaan frame yang diinginkan. Sebenarnya hal semacam inilah yang dapat menjadi paradigma terhadap bagaimana inagurasi cultural harus diperlihatkan. Suatu kejadian yang sesuai dengan atmosfer alam dan tanpa subyektivitas untuk pembentukan visualnya. Walaupun membutuhkan presentasi provokatif untuk membuat obyek foto mendapatkan gerak yang natural dalam pengambilan gambar.

Melalui presentasi realistis inilah penanda untuk kultur yang realistis dapat diamati dengan cermat. Bagaimana kejadian dan tempat yang dapat menjadikan representasi dari visual terwujud. Dinamisasi ikon ini dpat dilihat dari waktu ke waktu, berubah atau tidak, jika mendapatkan penanda yang stagnan dalam satu masa maka saat itulah petnda dapat digunakan mejadi ikon yang sesungguhnya, ikon murni dalam kultur. Dengan demikian riset tentang penanda akan mendapatkan satu titik visual yang jelas, tepat sasaran dan tidak membutuhkan energi banyak. Jika ikon visual hasil fotografi diikuti secara runtut dan verbal. Juga melalui segmen semacam ini akan menjadi infrastruktur untuk pemetaan ikon cultural yang lebih beradab,tanpa harus riset yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Latar belakang fotografi yang spontan ini memiliki ruang tersendiri untuk mewujudkan satu esei fotografi yang ideal terhadap tekanan social untuk menghadirkan subyektivitas yang diluar naturallitas kultur.

Melalui karya –karya pameran ini dapat dilihat bagaimana ikon kultural diperlihat secara sadar dalam ruang subyektif penciptaan karya. Naturalitas pengambilan visual juga adegan obyek serta tempat yang biasa digunakan untuk pengambilan gambar adalah sekumpulan syarat pembentukan penanda dalam realita ikon kultur. Disini kesimpulan dapat diambil dengan wacana yang cenderung sosiologis dan sosiokulturnya yang menjadi latar belakang.

pameran Teguh Ostenrik

Estetika Ostenrik

Abstraksi yang didapat melalui karya seni ternyata membawa begitu banyak perspektif yang memberi keluasan dalam diskursus. Berbagai obyek yang dijadikan diskursus ternyata menyangkut berbagai hal diluar dunia seni itu sendiri. Tetapi dampak dari diskursus yang didapatkan dari religi, politik, ekonomi dan bidang kehidupan lainnya ternyata mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Salah satunya religi, apa yang dapat dilakukan manusia melalui religiusitasnya? Mungkin satu pertanyaan ini yang dapat membuat kisah-kisah dalam kehidupan ini berkembang menjadi satu fenomena yang dapat diambil hikmahnya. Karena dari kesan-kesan yang telah terjadi dimasa lalu, dapat dijadikan simbol pada masa kini. Hingga manusia mengenal asal-muasal kejadian atau legenda yang tercatat pada buku-buku sejarah pada masa kini.

Melalui dunia senirupa ternyata fenomena-fenomena religi dapat ditangkap abstraksinya itu, mengundang seorang perupa untuk menerima ajakan membuat fenomena menjadi obyek nyata atas legenda religi menjadi obyek seni yang estetis. Perupa Teguh Ostenrik, melalui jalan salib, membuat obyek-obyek religi menjadi patung-patung prosesi jalan salib dimana, karya sketsa, patung dan lukisan,menunjuk pada satu perjalanan ketika Yesus Kristus disalib. Karya-karya seni yang memuat obyek jalan salib ini dapat dilihat melalui pameran Look at me di Nadi gallery, Jl Kembang Indah III Blok G3 no 4-5 Puri Indah, Jakarta. Pameran yang akan berlangsung dari tanggal 12-24 Oktober 2005. Merupakan satu prosesi utuh dari jalan salib, Teguh Ostenrik melalui patung, sketsa dan lukisan, memberi satu gambaran perjalanan Yesus dari Yerusalem ke bukit Golgota dengan salib di pundaknya.

Teguh Ostenrik terlahir sebagai Islam-abangan dari keluarga Jawa. Terpukau dengan prinsip hidup Budhisme, melanglang ke negara Jerman, belajar tentang seni. Melalui salah satu pamerannya, bertajuk Homo Sapiens, di Singapura, secara tidak sengaja bertemu dengan pendeta Katolik ordo Fransiskan, karena ketertarikan sang pendeta dengan karakter arkaik, purba serta berbahan perunggu. Meminta untuk membuat patung jalan salib, dan Teguh Ostenrik mengerjakan pesanan itu. Pengerjaan yang memakan waktu hampir dua tahun itu rupanya membawa muatan tersendiri bagi Teguh Ostenrik, karena kapabilitasnya dapat dijadikan satu monumen untuk membuat perjalan salib lebih monumental di negeri sendiri, seseorang telah memesan karya Teguh Ostenrik untuk membuat Kapel di daerah Tomohon, Sulawesi Utara. Prosesi jalan salib masih dipergunakan dan hingga hari ini telah diselesaikan patung-patung jalan salib tersebut. Sebelum memasuki masa pemasangan di tempat yang sesungguhnya Teguh Ostenrik mendapatkan tempat untuk memajang karyanya di Nadi gallery.

Obyek jalan salib yang menjadi art proyek bagi Teguh Ostenrik adalah fenomena art proyek yang dapat menjadi abstraksi pasar bagi karya rupa. Tetapi dunia artistik sebagai proses pencarian memang harus dipertimbangkan, demikian juga sebagai diskursus senirupa dapat ditanyakan kembali dimana kreativitas obyektif atas karya tersebut. Disinilah estetika menjadi alat dimana karya rupa dapat mempunyai nilai seni dan dapat dipertimbangkan kelayakannya dalam obyek artistik. Karena melalui bentuk, semua patung dapat dikenali visualisasinya tetapi sebagai obyek artistik, apakah patung itu mempunyai fenomena visual artistik yang dapat disebut sebagai karya seni? Ataukah patung sebagai alat pajang monumental yang sekedar untuk mencari perhatian orang lewat.

Nadi gallery memasukan patung-patung yang mempunyai ukuran besar-besar dalam ruang pamer. Walaupun estetika dari patung-patung itu kurang menonjol sebagai obyek artistik. Memang secara bentuk patung prosesi salib ini mempunyai sifat monumental karena ukuran yang memang dipergunakan untuk luar ruang. Kekuatan visual patung dengan karakter arkaiknya inilah yang mendukung bagaimana artistik patung menjadi obyek nyata secara visual yang menarik. Serta narasi dari patung-patung yang mendukung untuk digelar menyerupai opera diatas panggung. Berbagai gerak patung yang menyerupai gestur tubuh yang ini cukup membuat ruang pamer menjadi sempit hingga tidak ada jarak pandang ketika patung diletakan dalam posisi tertidur. Bagaimana melihat patung sambil melongok kebawah? Tanpa jarak pandang yang sesuai dengan keinginan mata mengungkap keindahan visual patung.

Selain patung, lukisan dan sketsa mempunyai dimensi lain terhadap abstraksi yang dapat membuat satu fenomena artistik terwujud. Kekuatan sketsa Teguh Ostenrik merupakan pelukisan mimik ketika Yesus dihadapkan pada salib. Kekuatan ekspresi pada raut muka obyek tidak terlukis dengan jelas. Obyektivitas melihat mimik hanya sebatas bagaimana menampakan roman muka tanpa melihat ekspresi kedalaman ketika Yesus mengangkut salib. Artikulasi obyektif dari sketsa ini hanya sebatas figur yang mendominasi karya sketsa ini.

Melalui lukisan, Teguh Ostenrik bermain dengan komposisi warna dan mimik,roman muka yang menjadi obyek, serta figur tidak utuh dari obyek manusia yang dilukiskannya. Seperti dalam lukisan yang berjudul Go and Carry on Your Task (2004), mixed media on canvas, 120x200cm. Mimik wajah dilukiskannya dengan berserakan diatas bidang kanvas sebagai representasi dari ungkapan ekspresi, satu pertemuan diatas meja makan. Dengan gelas-gelas minuman berada dihadapan roman muka, tanpa sepotong tubuh yang nampak jelas, sedangkan komposisi warna nampak menonjol mengikuti roman atau raut wajah berada dalam posisi seperti topeng bertemu muka. Lebih ekstrim lagi, dalam karya terracotta yang berjudul The Last Supper (2002), 80x200cm. obyek yang ditunjukannya adalah ekspresi wajah-wajah dari roman muka yang berwujud topeng. Dihadapan wajah-wajah tersebut tersedia piring-piring dengan makanan serta satu buah alat minum seperti cangkir tetapi besar wujudnya. Lebih ekspresif dengan roman muka ketika makan. Hanya goresan yang membuat karya ini menonjol artsitiknya.

Estetika Teguh Ostenrik memang memuat komposisi warna yang menjadi satu kekuatan visual atas karya lukisnya. Sedangkan patung memberi satu visualisasi terhadap satu kejadian yang memang telah menjadi legenda, tidak menampakan kekuatan emosi artistiknya secara visual. Walaupun demikian sketsa lah yang mendukung artikulasi dari art proyek ini, menjadi abstraksi yang berbeda.

peristiwa pameran senirupa

TUMBANGNYA (PAMERAN) SENIRUPA


Sepertinya tidak akan terlihat lagi karya-karya yang melahirkan kontroversi dalam dunia senirupa. Melihat pameran senirupa yang berlangsung satu-dua tahun terakhir. Bagaimana ‘perlawanan’ seniman terhadap realita sosial yang tidak menunjuk pada arah yang memberi nilai pada benturan idealitas artistik. Kondisi ini tidak dapat dilihat dari satu dimensi, oleh sebab realita sosial tidak merangsang munculnya karya-karya yang membawa muatan ideologis artistik. Jika mengingat tentang karya yang mengundang kontroversi, salah satunya adalah karya Dadang Christanto di Pantai Ancol, 1001 Manusia Tanah tahun 1996. Waktu yang berjalan demikian cepat, demikian juga karya-karya senirupa datang dan pergi. Seperti juga pameran Dadang Christanto di CP Art Space,Jl Suryopranoto 67A Jakarta. Berlangsung dari 15 Oktober sampai 13 November 2005 mengambil judul Testimonies of the Trees, lebih memasuki harmoni tatanan alam yang kontemplatif. Kecenderungan karya diluar kontroversi ideologis artistik yang beberapa tahun lalu selalu dijadikan tema dalam berkarya perupa satu ini. Melalui tema-tema ideologis artistik yang selalu membuat kontroversi dalam masyarakat, adalah dua peristiwa yang cukup mengusik dunia senirupa diantaranya:

PERISTIWA PALMERAH
Pameran Dadang Christanto di Bentara Budaya Jakarta, berjudul Unspeakable Horor, tahun 2002. Karya yang dipajang saat itu memang menjadi kontoversi, karena dilarang dipajang oleh masyarakat sekitar. Sehingga manusia-manusia fiber glass-nya harus disingkirkan dari halaman Bentara Budaya Jakarta, sehari selesai pembukaan pameran. Kejadian itu terulang lagi dengan kapasitas pameran yang lebih besar yaitu CP Bienalle.
Peristiwa yang membuat ‘sesak nafas’ dan tidak ada noda perlawanan yang secara ideal memang harus dijadikan benturan untuk menunjukan bahwa norma seni adalah bagian dari norma sosial, jadi dibutuhkan penekanan secara aktif.

Diskusi di mailing list tentang Masa depan seni rupa, kebudayaan dan kehidupan bersama kita, beberapa waktu lalu. Salah seorang co-kurator cp bienalle juga mengeluarkan pendapatnya dalam mailing list ini untuk memberi jalan keluar bagaimana tindakan ini harus dapat dicegah lebih dini : “Waktu kita tidak banyak, sebenarnya: apakah strategi minimal yang harus kita miliki, sebelum kejadian berikut terjadi? Baru dua hal minimal terpikirkan oleh saya: 1) konsensus untuk tidak "takut", dan lebih berpikir bagaimana melawan daripada bagaimana mengalah; dan 2) mengambil keputusan melalui konsultasi bersama, supaya bisa kita tanggung bersama sebagai satu front. Mungkin perlu ada daftar orang "minimal" yang harus ditanyai sebelum masing-masing mengambil keputusan ketika menghadapi ancaman serupa.” (Marco Kusumawijaya,publikseni,2005)

Satu kejadian diatas merupakan representasi dari kejadian yang membenturkan norma seni dan norma social lain. Ukuran norma seni bukan berarti apa-apa dalam norma social atau norma-norma tertentu yang sekali waktu berubah arah karena digunakan untuk mendorong terjadinya kontradiksi dalam norma social itu sendiri. Dimana norma seni ditabrakan dengan norma agama, yang notabene sangat berlawanan.“Lalu mereka mulai mencari berbagai alasan yang kira-kira dekat dengan ukuran norma mereka dan sudah dilanggar oleh seniman2 besar itu.Tentu saja dari sudut pandang agama, puritanisme pasti isue yang termudah untuk di tiupkan kepermukaan. Maka terjadilah hal-hal yang sangat kontradiktif. Mereka menganggap karya Agus Suwage yang memperlihatkan sedikit aurat, (bahkan alat kelaminnya ditutup dengan warna) sebagai hal,” ungkap Teguh Ostenrik,perupa, dalam publikseni,2005.

SKANDAL PINKSWINK
Kasus penurunan karya Agus Suwage, pinswink,ternyata mempunyai akibat yang ‘menyesakan nafas’ dalam kasus senirupa Indonesia. Efek dari penurunan ini tidak hanya berdampak dalam lingkungan para perupa tetapi juga insiden yang tidak akan pernah terlupakan. Terutama pada kehidupan senirupa masa depan.

Ancaman dari pihak luar cp bienalle yang berupa tekanan untuk menutup karya Agus Suwage merupakan tidakan intervensi dari luar dan merusak berbagai norma pameran yang menitik beratkan pada artistik karya yang telah terpasang,“memang,senirupa kontemporer Indonesia paska reformasi kini berhadapan dengan masyarakatnya
sendiri..bukan lagi dari pihak militer, akan tetapi: kelompok etnis dan kelompok agama...persis situasi tahun 1947-48 ketika Indonesia baru merdeka dan euphoria kemerdekaan merebak dimana-mana...” ungkap Aminudin TH Siregar seorang curator dari Bandung,dalam millist publikseni,2005.

Lalu siapakah yang harus membela karya para perupa dalam event besar se-kelas cp bienalle. Jika ada intervensi diluar norma seni Rifki Effendi, curator gallery cemara 6 Jakarta mengungkapkan:“Bahwa tiap penyelenggaraan pameran seperti ini,kuratorlah yang paling berhak dan bertanggung jawab.Pertama kurator berhak memilih karya dan juga mampu mempertanggung jawabkannya ke publik luas. Di ejawantahkan dalam program-program publik dan informasi. Jadi bila ada suatu insiden kurator dan organisasi pameran pertama kali yang harus bereaksi dan mengambil
strategi. Kita tahu bahwa dalam CP Bienalle para pengunjung bingung
tentang apa maksud karya ini dipamerkan bahkan tersesat. Jadi tafsir pertama karya Pinkswing Park bukan dari kurator tapi dari wartawan Infotainmen. Disini lah etik profesi jadi sangat penting. Apalagi ketika karya ditutup itu harus dilakukan atas
persetujuan kuratornya dgn yang empu nya karya: seniman. Disini seniman secara hukum bisa menuntut penyelenggara.”

Pertanggung jawaban atas kasus penurunan karya Agus Suwage merupakan salah satu symbol bagaimana norma seni terkalahkan dengan intervensi massa diluar kaum senimannya. Apakah peristiwa ini hanya meninggalkan sesak nafas tanpa penyelesaian? Solidaritas memang dibutuhkan untuk meredam sikap arogan, curator independent, Hendro Wiyanto mengungkapkan: “solidaritas moral berupa tindakan langsung terjun ke tempat pameran oleh kalangan seniman sangatlah penting, untuk melanjutkan apa yang menjadi keprihatinan kita bersama terhadap kasus ancam-mengancam berdasarkan sebuah absolutisme atau bahkan totalitarianisme tafsir kalangan tertentu seperti terjadi belakangan ini.”(Hendro Rata PenuhWiyanto,publikseni,2005)

Karya-karya Dadang, untuk pameran kali ini, lebih kontemplatif, diluar keriuhan peristiwa senirupa yang ‘menabrak’ kontrol sosial melalui tema-tema yang lebih kontroversial. Apakah karya-karya kontemplatif Dadang dapat mendinginkan ‘suasana’ dari dua peristiwa diatas, khususnya cp bienalle apakah kasusnya selesai bersamaaan dengan selesainya event?

tentang PINKSWINK PARK

IDE(O)LOGI BIENALLE

Sepertinya tidak akan terlihat lagi karya-karya yang melahirkan kontroversi dalam dunia senirupa. Melihat pameran senirupa yang berlangsung satu-dua tahun terakhir. Bagaimana ‘perlawanan’ seniman terhadap realita sosial yang tidak menunjuk pada arah yang memberi nilai pada benturan idealitas artistik. Kondisi ini tidak dapat dilihat dari satu dimensi, oleh sebab realita sosial tidak merangsang munculnya karya-karya yang membawa muatan artistik

Kasus penurunan karya Agus Suwage, pinswink,ternyata mempunyai akibat yang ‘menyesakan nafas’ dalam kasus senirupa Indonesia. Efek dari penurunan ini tidak hanya berdampak dalam lingkungan para perupa tetapi juga insiden yang tidak akan pernah terlupakan.

Diskusi di mailing list tentang Masa depan seni rupa, kebudayaan dan kehidupan bersama kita, beberapa waktu lalu. Salah seorang co-kurator cp bienalle juga mengeluarkan pendapatnya dalam mailing list ini untuk memberi jalan keluar bagaimana tindakan ini harus dapat dicegah lebih dini : “Waktu kita tidak banyak, sebenarnya: apakah strategi minimal yang harus kita miliki, sebelum kejadian berikut terjadi? Baru dua hal minimal terpikirkan oleh saya: 1) konsensus untuk tidak "takut", dan lebih berpikir bagaimana melawan daripada bagaimana mengalah; dan 2) mengambil keputusan melalui konsultasi bersama, supaya bisa kita tanggung bersama sebagai satu front. Mungkin perlu ada daftar orang "minimal" yang harus ditanyai sebelum masing-masing mengambil keputusan ketika menghadapi ancaman serupa.” (Marco Kusumawijaya,publikseni,2005)

Satu kejadian diatas merupakan representasi dari kejadian yang membenturkan norma seni dan norma social lain. Ukuran norma seni bukan berarti apa-apa dalam norma social atau norma-norma tertentu yang sekali waktu berubah arah karena digunakan untuk mendorong terjadinya kontradiksi dalam norma social itu sendiri. Dimana norma seni ditabrakan dengan norma agama, yang notabene sangat berlawanan.“Lalu mereka mulai mencari berbagai alasan yang kira-kira dekat dengan ukuran norma mereka dan sudah dilanggar oleh seniman2 besar itu.Tentu saja dari sudut pandang agama, puritanisme pasti isue yang termudah untuk di tiupkan kepermukaan. Maka terjadilah hal-hal yang sangat kontradiktif. Mereka menganggap karya Agus Suwage yang memperlihatkan sedikit aurat, (bahkan alat kelaminnya ditutup dengan warna) sebagai hal,” ungkap Teguh Ostenrik,perupa, dalam publikseni,2005.

Ancaman dari pihak luar cp bienalle yang berupa tekanan untuk menutup karya Agus Suwage merupakan tidakan intervensi dari luar dan merusak berbagai norma pameran yang menitik beratkan pada artistik karya yang telah terpasang,“memang,senirupa kontemporer Indonesia paska reformasi kini berhadapan dengan masyarakatnya
sendiri..bukan lagi dari pihak militer, akan tetapi: kelompok etnis dan kelompok agama...persis situasi tahun 1947-48 ketika Indonesia baru merdeka dan euphoria kemerdekaan merebak dimana-mana..
.” ungkap Aminudin TH Siregar seorang curator dari Bandung,dalam millist publikseni,2005.

Lalu siapakah yang harus membela karya para perupa dalam event besar se-kelas cp bienalle. Jika ada intervensi diluar norma seni Rifki Effendi, curator gallery cemara 6 Jakarta mengungkapkan:“Bahwa tiap penyelenggaraan pameran seperti ini,kuratorlah yang paling berhak dan bertanggung jawab.Pertama kurator berhak memilih karya dan juga mampu mempertanggung jawabkannya ke publik luas. Di ejawantahkan dalam program-program publik dan informasi. Jadi bila ada suatu insiden kurator dan organisasi pameran pertama kali yang harus bereaksi dan mengambil
strategi. Kita tahu bahwa dalam CP Bienalle para pengunjung bingung
tentang apa maksud karya ini dipamerkan bahkan tersesat. Jadi tafsir pertama karya Pinkswing Park bukan dari kurator tapi dari wartawan Infotainmen. Disini lah etik profesi jadi sangat penting. Apalagi ketika karya ditutup itu harus dilakukan atas
persetujuan kuratornya dgn yang empu nya karya: seniman. Disini seniman secara hukum bisa menuntut penyelenggara.”

Pertanggung jawaban atas kasus penurunan karya Agus Suwage merupakan salah satu symbol bagaimana norma seni terkalahkan dengan intervensi massa diluar kaum senimannya. Apakah peristiwa ini hanya meninggalkan sesak nafas tanpa penyelesaian? Solidaritas memang dibutuhkan untuk meredam sikap arogan, curator independent, Hendro Wiyanto mengungkapkan: “solidaritas moral berupa tindakan langsung terjun ke tempat pameran oleh kalangan seniman sangatlah penting, untuk melanjutkan apa yang menjadi keprihatinan kita bersama terhadap kasus ancam-mengancam berdasarkan sebuah absolutisme atau bahkan totalitarianisme tafsir kalangan tertentu seperti terjadi belakangan ini.”(Hendro Wiyanto,publikseni,2005)

Selasa, 10 Maret 2009

tentang PINK SWINK PARK

sebatas itukah pengertian estetika tubuh?

Tubuh merupakan materi esensiil dalam dinamika gerak kehidupan. Bagaimanapun roda yang mendinamisir rantai kehidupan menggunakan tubuh sebagai inti pergerakan hidup. Tubuh disini adalah alat untuk mencapai suatu maksud dan tujuan. Ketika tubuh adalah subyektivitas yang membuat ruang bagi dirinya. Disinilah sentralitas utopis mulai berlaku, segala sesuatunya menjadi estetis, jika dihubungkan dengan norma seni. Tetapi bagaimanakah seni yang sesungguhnya, yang dapat memenuhi pengertian seni, karena keluasan arti estetika yang meruang,apapun pengertian tentang tubuh ketika membuat satu analitik tentang estetika selalu bertautan dengan materi lain yang menjadi obyek dari tubuh itu sendiri.

Tulisan Mudji Sutrisno pada artikel budaya Kompas,Minggu 30 Oktober 2005, yang berjudul Estetika Tubuh? Memberi satu pengertian esensiil tentang tubuh sebagai tubuh dalam pengertian tubuh sebagai materi yang sangat personalized,melihat tubuh dalam ruang tubuh itu sendiri, tanpa membuat satu keluasan bagaimana tubuh harus bertaut dengan otoritas lain, termasuk dinamika social yang selalu menghancurkan efek kebertubuhan itu sendiri. Disini hakekat tubuh menjadi unggul, seperti Nietzche menyebut sebagai adi manusia. Pada hakekatnya ritus tubuh adalah dinamisasi dari suatu pola dimana roda gerak kehidupan ini timbul-tenggelam,atas-bawah, dan menjadikan ruang analitik sosial berkembang dalam atmosfernya masing-masing.

Suatu yang essensiil memang ketika kita membicarakan tubuh sebagai materi, seperti apa yang diungkapkan oleh Mudji Sutrisno. Tetapi apakah beban artikulatif kekinian yang dapat dikaji dan ditelaah oleh publik yang mengandaikan tubuh sebagai dinamika gerak dalam ruang kehidupannya seperti itu, oleh sebab artikel itu tidak murni menghubungkan tubuh sebagai pure tekstual tentang essensi tubuh. Disini adalah permasalahan mendasar bagaimana atmosfer sosial ikut mengejawantahkan tentang arus dinamisasi tubuh,oleh sebab tubuh dapat menjadi subyek ataupun obyek dalam dilemma kehidupan sosial. Melalui atmosfer semacam inilah filosof mengambil tema tubuh sebagai sentralitas tema dalam diskursus obyek tentang manusia. Bukankah begitu?

Tubuh dalam Pingswink Park

Tubuh hanya suatu batasan representasi bagi kehadiran identitas subyektif cultural, bagaimana mengejawantahkan tubuh adalah memberi pengertian tentang dinamika obyektif terhadap apa yang subyek hadapi secara cultural saat itu. Seperti respon tubuh terhadap obyek yang menjadi dinamisasi terhadap kehidupan. Seperti karya pingswing park, foto digital, Agus Suwage yang dipamerkan di CP Biennale, representasi tubuh yang digunakan dalam imajinasi dalam ruang yeng menggerakan fantasi setiap penonton atau subyek yang menikmati karya tersebut. Bagaimana tidak? Ketika subyek yang datang dan memperhatikan karya, respon awal adalah bagaimana mengembara dengan karya itu dalam dunia fantasi yang tidak ada jembatan lagi untuk diungkap.

Tetapi karena representasi yang dipakai adalah suatu otoritas simpatis publik yang selalu hadir dalam infotainment, dalam keadaan tanpa busana maka tidak dapat tidak ketercelaan dalam karya menjadi bahan hujatan. Baik oleh kaum komunal yang merasa menguasai aturan-aturan ilahiah ataupun kaum anti pornografi. Karena obyek tanpa busana laki-laki dan perempuan dalam karya tersebut.

Disini tubuh hanya sebagai representasi atas batasan seni, ketika dibenturkan dengan aturan agama ataupun aturan yang mengundang norma sosial lain tentu akan berdampak bagi wacana kehidupan sosial. Benturan tersebut sebenarnya adalah realitas yang harus dihadapi untuk menguraikan ataupun memberi penjelasan apa fungsi tubuh dalam karya itu bukan atas representasi identitas sang model. Hal ini merupakan kewajiban penyelenggara acara bagaimana memberi pengertian terhadap identitas karya serta batasan terhadap dimensi seni yang memajang tubuh sebagai obyek.

Benturan realistis terhadap kebertubuhan sebagai obyek karya seni, sementara ini belum dikenal oleh kalangan masyarakat secara luas. Karena menyangkut bagaimana imej tubuh dalam obyektivitas untuk menerjemahkan batasan pemakaian otoritas tubuh sebagai obyek karya seni. Mudji Sutrisno tidak melihat hal ini sebagai satu diskursus bahwa realita sosial dinegeri ini belum bisa membuat satu diskursus kebertubuhan tanpa memakai hiasan yang lebih fashionable, sehingga yang terlihat bukan tubuh yang aslinya tetapi bungkus tubuh itu sendiri. Disini diskursus dapat dikembangkan menjadi satu realita yang lebih jelas untuk disimak oleh publik, bahwa tubuh mempunyai realitanya tersendiri tanpa harus menghubungkan dengan subyektivitas diluar tubuh.

Karena ketidakjelasan pembelaan dalam penyelenggaraan acara seni, yang notabene adalah acara internasional itu, maka karya Agus Suwage menjadi korban. Harus ditutup setelah satu minggu acara dibuka untuk umum. Hingga akhir acara tidak ada pembelaan dari penyelenggara tentang maksud atau tujuan karya dipajang dalam acara tersebut. Pertanyaan yang muncul tentu akan diluar konteks dari maksud bagaimana karya semacam itu dapat diakui sebagai karya seni. Omong kosong, tentu jika tidak ada diskursus tentang karya yang berbau ketelanjangan dan mempunyai effek pornografis dipajang dalam event internasional tersebut? Hingga hari inipun setelah satu bulan lebih event itu berakhir dalam diskursus karya pingswing park adalah pornografi. Bukan begitu? Oleh sebab kalangan yang berhak menjelaskan tidak sedikitpun mengeluarkan pengertian terhadap karya, setelah mendapat pertanyaan bahkan dikecam habis oleh segelintir orang yang menganut paham komunal bahwa aturan yang dipahaminya adalah aturan yang paling benar dalam hidup, sedangkan pingswing park menyalahi aturan hidup mereka? Bagaimana pengertian tubuh disini?

Tiran, Estetika tubuh diruang publik.

Jika tidak ada diskursus yang dapat memberi satu pengertian terhadap karya pingswing park pada realita kehidupan sosial, maka representasi tubuh dalam karya semacam itu hanya menjadi bahan hujatan kelompok masyarakat yang mengaku selalu benar jika melakukan kegiatan anarkis atas nama agama. Bukankah ini tiran? Kejelasan tentang representasi tubuh dalam karya pingswink park memang harus menjadi diskursus seni hingga dapat menjelaskan sejauh mana batasan antara pornografi dan suatu aksi estetik terhadap tubuh.

Mudji Sutrisno memang telah memberi satu pengertian fragmantal terhadap tubuh yang memberi pembatasan lebih teoritik dan imajinatif dalam realitas sosial yang ada selama ini. Tetapi untuk kasus pinkswink park , juga harus disimak bagaimana estetika diruang publik harus diberi diskursus untuk menjelaskan pada kelompok awam tentang tubuh yang di jadikan karya seni. Bukankah ini tugas filosof juga?

Pameran Eko Nugroho,gallery Artnivora 2005

CITRA KOMIKAL

Komik memang seringkali membuat kita ceria, apalagi setelah kita membaca sebuah cerita komik yang didapat dari buku-buku komik yang tersebar ditoko buku. Komik yang mudah dimengerti melalui buku komik yang ada di toko buku adalah satu dimensi tersendiri dari visualisasi komik yang telah ada sejak sejarah komik dimulai di Indonesia. Apa yang ada dalam buku-buku tersebut mudah ditangkap oleh pembacanya, mudah dimengerti utnuk sekali melihat frame demi frame yang dibuat dalam cerita komik tersebut. Komik memang tidak sulit untuk dibuat atau dimengerti, tetapi komik juga membutuhkan satu pemahaman tertentu untuk dibuat satu identitas bagi pembuatnya sendiri. Citraan komik semacam ini tentu membutuhkan satu spesialisasi untuk dapat dipahami secara mendasar. Selain gambarnya juga tatanan hurufnya yang harus terwujud dalam satu pengertian. Bahwa komik adalah identitas juga bagi pembuatnya. Mungkin inilah yang dapat ditangkap dari dunia komik.

Citra komik memang menjadi identitas pembuatnya. Tampilan yang didapat dari hasil visualisasi yang tergambar dalam cerita komik adalah pengertian pembuat yang harus disampaikan dalam wujud ringkas yang bertema, atau satu penceritaan yang mengalir menjadi satu kisah yang dapat dinikmati oleh pembaca. Tetapi lain apa yang dikembangkan oleh Eko Nugroho, perupa asal Yogyakarta, yang menekuni komik ini. Komik-komik yang dikembangkannya adalah citraan visual yang membuat satu identitas visual komik. Karya-karya Eko Nugroho dapat dilihat pada pameran Sorry. I’m too late to celebrate yang berlangsung di gallery Artnivora, Jl Kemang Utara 50,Left Wing, Jakarta. Pameran akan berlangsung dari tanggal 20 Agustus sampai dengan 15 September 2005. Seluruh kapasitas ruang galeri dimanfaatkan oleh Eko Nugroho untuk membuat karya-karyanya tertampung dalam ruang,termasung atap ruang galeri yang digambar dengan satu citra-an visual komik figure setengah badan,dengan kepalanya tertutup topi dan matanya terlihat dua pasang. Pada karya ini Eko membuat tulisan ,”Berada diatas tidak selalu menyenangkan.” Tepat ditengah-tengah obyek gambarnya. Karya ini termasuk salah satu mural atau karya yang langsung dibuat dalam langit-langit galeri tanpa menggunakan material apapun kecuali cat hitam untuk membuat obyek yang terasa komikal tersebut.

Beberapa mural memang dibuat dalam galeri tersebut dengan ukuran yang besar-besar sesuai dengan kapasitas dinding yang dipergunakan untuk membuat karya. Setiap Mural yang dibuat selalu disertai graffiti atau tulisan yang menyertai karya tersebut. Misalnya dinding sebelah kiri ketika masuk galeri terdapat tulisan, “Tidak ada orang lain yang tak retak.” Mural pada dinding ini berukuran besar langsung dilukis dengan menggunakan warna hitam, sedangkan warna dinding putih langsung digunakan sebagai dasar untuk karya. Lain dengan dinding tengah galeri, terlihat tepat ketika pengunjung galeri hendak masuk, tulisan ,” Jangan malu-malu foundation.” Menyertai karya dengan wujud kepala yang besar, diatasnya terdapat cerobong asap bercabang-cabang sebagai tutup kepala tersebut. Citra komikal yang demikian kental dari karya Eko Nugroho kali ini diikuti oleh ikon-ikon yang melekat pada obyek karya,salah satunya adalah cerobong asap. Pada dinding sebelah kiri galeri cerobong asap ini digambar kecil-kecil terserak dimana-mana sedangkan pada karya yang lain ditempatkan diatas kepala dari obyek orang yang dilukiskan pada dinding langsung.

Pada dinding sebelah kiri galeri setelah pintu masuk mural digambar dengan ukuran penuh satu dinding, tulisan yang menyertainya adalah ,”Sudah sarapan foundation.” Merupakan mural terbesar dari karya mural yang lainnya,selain itu terdapat sambungan dengan kertas dari hingga menyentuh lantai galeri. Ikon cerobong asap digambarkan berserakan disetiap obyek gambar yang dilukiskannya pada dinding. Sedangkan diatas mural terdapat tiga karya dari kanvas dengan ukuran 30x40cm berjajar tiga. Masing-masing karya membawa citra komik tersendiri diluar mural tersebut. Beberapa karya lain dengan ukuran 40x30cm masing-masing berjudul Have A Nice Job dan Light Watch,akrilik on canvas, merupakan karya yang mencitrakan komik gaya khas Eko Nugroho.

Selain sebagai perupa yang menekuni komik Eko Nugroho juga “Presiden Kelompok Daging Tumbuh” kelompok komikus yang seringkali mengeluarkan kompilasi komik. Melalui penerbitan bersama Daging Tumbuh ini terlihat gaya khas komik Daging Tumbuh. Apa yang ada dalam komik tersebut adalah ciri khas dan pencitraan komikal yang menjadi corak komikal kelompok tersebut.Pada pameran ini Eko Nugroho juga menampilkan video art, salah satunya berjudul Bercerobong,2002. Pada video ini manusia yang ditampilkan adalah manusia yang kepalanya patah berganti dengan benda-benda lain,seperti pensil,pohon dan televise. Dua manusia saling berhadapan dengan kepala bergantian tersebut, saling meminta benda-benda, yang tertulis, antara satu dan lainnya. Benda-benda yang diminta tersebut keluar dari leher dan lepas lalu berganti dengan benda lainnya yang berganti-ganti, warna video ini dominan hitam putih. Video lainnya berjudul Let Me Love Me, 2004. Video ini lebih bercerita tentang alat mekanik yang digerakkan dengan roda bergerak ke kiri dan kanan membawa beban manusia yang digantung, kepala manusia yang berbentuk cerobong asap ini bergerak mengikuti roda mekanik dan mengeluarkan asap.

Karya-karya komikal ini membawa satu citra baru untuk imajinasi bentuk-bentuk gambar komik yang selama ini lebih dikenal realistic. Eko Nugroho membuat satu dimensi baru tentang pencitraan terhadap komik, dalam komik yang dibuatnya hanya terdapat symbol-simbol benda. Bukan realitas dari benda yang sesungguhnya. Eksplorasi yang imajinatif ini membuat satu pencitraan atas komik dengan gaya Daging Tumbuh, kelompok komik yang dipimpin oleh Eko Nugroho.


Jumat, 06 Maret 2009

Drawing

PROYEK [SI] TUBUH

Tubuh secara sosial adalah suatu proses untuk memperkenalkan diri secara terus menerus, dimana tempat dan lingkungan menyesuaikan diri dengan apa yang dikehendaki baik oleh tubuh kedirian atau tubuh lain. Proses inilah yang menghasilkan interaksi, sehingga lingkungan sosial terkendali dan dapat dilihat pola-pola loyalitasnya terhadap pemeliharaan tubuh. Tubuh dalam sudut pandang sosial memang mengalami benturan yang tidak dapat dihindarkan dengan tubuh lain.



Mengapa benturan sosial muncul? Kondisi kritis terhadap tubuh yang menghendaki ruang-ruang kebebasan menjadi ‘milik’ ternyata mengakibatkan benturan yang tidak dapat dihindarkan. Visual-visual benturan tubuh ini menghasilkan otoritas dinamika sosial yang berkesinambungan. Otoritas tubuh muncul dan menjadi sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dengan kondisi sosial, dimana kondisi itu menentukan tubuh itu sendiri. Melalui kondisi sosial yang kritis terlihat bagaimana peranan tubuh dalam menegakan diri membentuk identitasnya.



Mengapa benturan sosial muncul? Kondisi kritis terhadap tubuh yang menghendaki ruang-ruang kebebasan menjadi ‘milik’ ternyata mengakibatkan benturan yang tidak dapat dihindarkan. Visual-visual benturan tubuh ini menghasilkan otoritas dinamika sosial yang berkesinambungan. Otoritas tubuh muncul dan menjadi sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dengan kondisi sosial, dimana kondisi itu menentukan tubuh itu sendiri. Melalui kondisi sosial yang kritis terlihat bagaimana peranan tubuh dalam menegakan diri membentuk identitasnya.


Kebertubuhan membutuhkan identitas juga selain otoritas untuk mengisi ruang-ruang yang kadang sulit dikendalikan. Tubuh terproyeksi menjadi ‘sesuatu’ yang terlihat menghidupkan tatanan. Ketika kondisi kritis dalam kehidupan sosial muncul. Disinilah eksistensi tubuh menjadi sesuatu yang dibutuhkan, dinyatakan menjadi sesuatu yang kritis, kondisi memang mewujudkan tubuh sedemikian rupa untuk membentuk diri, terproyeksi dalam tekanan yang kritis, secara sosial.


Menguraikan tubuh yang kritis dalam dilema sosial yang berkesinambungan, ternyata membutuhkan simbolisasi dalam melihat gerak, melihat lingkup sosial dan ketajaman dalam memilah peristiwa. Mengungkap hal ini Isa Perkasa cenderung mempertajam visulisasi bagaimana simbol tubuh menjadi dinamis dan menghidupkan kejadian yang seharusnya untuk dipahami secara mendasar. Isa, memilahkan secara kuat tubuh menjadi simbol kentara dalam visualnya.



Otoritas tubuh yang divisualkan dalam penggambaran diatas kanvas adalah idealisasi bagaimana tubuh terkendali dalam sistematika ruang sosial yang tajam, menghardik tatanan yang chaos. Isa menghadirkan ruang-ruang tersebut untuk memperlihatkan visual dengan simbolik. Bagimana tubuh sebagai penggerak tatanan sosial. Chaos dalam tatanan sosial di perlihatkannya untuk membentuk bagaimana visual harus hadir, walaupun subyektif, tetapi disinilah pemahaman penggambaran itu muncul, bahwa tatanan sosial adalah gerak dari tubuh-tubuh yang menjadi simbolnya.


Sedangkan Aditya Tobing, lebih memvisualkan hakekat tubuh dalam tekanan yang melebihi apa yang menjadi bebannya. Kebertautan sosial hanya sebatas kesan, atau sesuatu yang kosong, dinamika gerak dalam visual Adit, lebih menggugat bagaimana kebertautan tubuh menjadi otoritas terbuka terhadap kesakitan. Tubuh tidak menghendaki tetapi datangnya kesakitan itu menghasilkan tekanan yang membuka otoritas tubuh dalam sistematika tatanan sosial yang memberi pemahaman, bagaimana kesakitan itu dating dan memberi tubuh persepsi yang tidak utuh lagi dalam memahami kehadiran dirinya ditengah kehidupan sosial.


Aditya Tobing dan Isa Perkasa, mencoba membuat proyeksi tubuh dalam ruang simbol, meskipun harus mempertautkan dengan keadaan sosial, karena dengan itulah simbol-simbol tubuh dalam ruang sosial menjadi hidup, lebih kentara dan terproyek dalam elemen mendasar dari kondisi kritis yang memang harus dihadirkan untuk membentuk ruang dinamis dalam memberi pengertian terhadap tubuh.


Kebertautan tubuh secara sosial tidak dapat ditinggalkan begitu saja, memilah adalah cara memperlihatkan tubuh lebih dinamis dalam memperlihatkan secara lebih luas ditengah kondisi sosial yang ada. Adit dan Isa berusaha sedemikian rupa untuk memperlihatkan keadaan itu melalui visual-visual yang di jabarkan kali ini. Proyek[si] tubuh menyimak bagaimana kedalaman peran tubuh ditengah kondisi sosial yang kritis.