Rabu, 11 Maret 2009

fotografi

PAMERAN FOTO MASA DEPAN SEBUAH MASA LAMPAU:

VISUALISASI KULTURAL

Apabila melihat gambar-gambar pada goa-goa kuno peninggalan zaman pra sejarah. Kita dapat menemukan visualisasi atas kehidupan saat itu. Bagaimana mereka, pembuat gambar, berinterprestasi atas sebuah peristiwa. Juga bagaimana kehidupan saat itu dapat dilihat secara komprehensif melalui pemahaman visual. Maka ada satu pengertian yang dapat dipahami. Bahwa mereka,manusia pra sejarah, mengandalkan tehnis visualnya untuk memberi penjelasan pada orang lain atau generasi sesudah mereka, melalui gambar yang mereka kenal. Pemahaman melalui gambar-gambar yang ada diseputar kehidupan mereka itulah yang mempermudah terbentuknya visualisasi terhadap kultur yang telah mereka bentuk. Pembentukan kultur yang secara sadar dilakukan dengan cara melukis pada dinding-dinding tembok. Menimbulkan kesan bahwa pemahaman visual terhadap subyek sadar kultur untuk membuat obyek visual pada peristiwa yang terjadi saat itu sebagai fenomena tersendiri. Karena dengan memvisualkan kejadian demi kejadian akan memberi dampak pada orang lain, untuk lebih mengetahui, bahwa ada kehidupan lain diluar lingkungan mereka. Satu kelebihan dari apa yang telah dilakukan subyek sadar kultur untuk membagi peristiwa dengan generasi berikutnya, karena apa yang dilukiskan pada dinding-dinding goa itu mempunyai kesan, visualisasi literature untuk kultur sebagai ikatan emosional untuk mengabadikan kejadian yang telah mereka alami. Hingga kini kejadian masa lalu itu dapat ditemukan dan dijadikan sebagai sumber visual manusia zaman tersebut. Konteks visualisasi kini telah berubah menjadi satu alat untuk memperlihatkan kultur dengan alat potret atau kamera, baik itu kamera video atau kamera fotografi. Pemakaian tehnologi untuk membuat satu rancang bangun visual kultur telah berubah menjadi fenomena visual yang dapat menjadikan perdebatan interpretative antar subyek yang mengkaji fenomena visual kultur tersebut.

PENDEKATAN VISUAL UNTUK INAGURASI KULTUR

Apa yang kita dapatkan pada pameran foto masa depan sebuah masa lampau adalah bagaimana membuat satu komunikasi visual terhadap realita sehari-hari terhadap obyek yang ,mau tidak mau, harus kita hadapi setiap saat. Seperti orang berpakaian, tatanan rumah atau lingkungan sekitar dimana kita berdiri. Tiga hal yang dapat dilihat sebagai obyek yang sesaat melintas dihadapan mata itu, merupakan tuntutan kondisi dimana mata tidak terhindarkan untuk mengamati, sejauh mana pengertian terhadap hal yang ditawarkan diatas dapat kita pahami. Secara verbal dapat dilihat pada karya foto Keke Tumbuan, frame demi frame dapat kita melihat bagaimana obyek fotografis pada visualisasi foto berpakaian keragaman cara berpakaian menunjuk pada ikon: kultur macam apa dalam karya tersebut? Ekspresi masing-masing obyek juga menunjuk pada gambaran tertentu dimana lokalitas tempat membantu obyek untuk meluapkan emosi didepan kamera. Disini juga menjadi pertimbangan lain, mengapa? Dinamisasi gerak kultur begitu direpresentasikan secara jujur, tanpa pertimbangan lain kecuali artistic, saat penciptaan visual digunakan. Bukan tidak berarti tanpa estetika yang menjadi tujuan, karena hanya satu format itu terjadi peristiwa yang diabadikan untuk foto karya itu.

Dinamika penciptaan dengan ruang yang berubah-ubah ini juga salah satu alat untuk menunjukan revitalisasi karya yang berulang-ulang. Serta membuat satu tujuan bagaimana presentasi yang dihasilkan dari obyek yang begitu beragam menghasilkan estetika yang mempunyai kualitas tinggi. Permasalahan ruang dalam karya Keke Tumbuan juga alat untuk memberi satu masukan bagaimana karya memberi format presentasi yang ekspresif sesuai dengan dasar ruang penciptaan, secara plastis, serta natural dalam pembuatan dialog visual. Pendekatan ruang memang menjadi dasar yang subyektif dalam fotografi selain dapat sebagai presentasi obyek untuk menampilkan perbedaan ekspresi juga tampilan visual yang membutuhkan latar yang berbeda. Disini obyek secara fotografis akan sadar bagaimana mengadaptasi sekeliling tanpa harus mempertimbangkan tatanan subyektif, apa yang harus dilakukan ketika menjadi obyek visual, spontannitas ini adalah factor yang penting dan menunjuk pada ikon kultur sesungguhnya, tentang tempat kejadian dan peristiwa yang diabadikan sesuai dengan realita saat itu. Tanpa memperlakukan obyek visual secara khusus.

Jika pengambilan obyek seperti ini dilakukan terus-menerus, maka penciptaan obyek realistis untuk presentasi foto secara cultural menjadi nampak nyata. Bagaimana kultur yang sedang dijadikan obyek itu, kebiasaan macam apa yang sedang menjadi obyek, serta tempat macam apa yang menjadi kebiasaan pengambilan obyek. Semua akan menjadi dasar berpikir untuk membuat paradigma dan keluasan representasi wacana bagi inagurasi cultural yang sedang berlangsung pada obyek. Disinilah ikon visual kultur mendapatkan obyek yang murni, bagaimana kehidupan sehari-hari menjadi presentasi dengan wajar tanpa lips sign yang berlebihan. Wacana akan mendapatkan sumber riset yang mempunyai bentuk yang tepat.

Presentasi obyektif ini menunjuk pada kedalaman atau ikon sesungguhnya dari kultur yang sedang berlangsung dalam realita obyektif, saat pengambilan gambar terjadi. Dimensi estetika tentu akan menjadi sisi natural dalam penciptaan visual ini karena obyektivitas fotografis terbentuk tanpa memberi sentuhan bombastis. Seperti dalam foto salon yang harus merepresentasikan pengulangan subyektif untuk mendapatkan adegan dari penciptaan frame yang diinginkan. Sebenarnya hal semacam inilah yang dapat menjadi paradigma terhadap bagaimana inagurasi cultural harus diperlihatkan. Suatu kejadian yang sesuai dengan atmosfer alam dan tanpa subyektivitas untuk pembentukan visualnya. Walaupun membutuhkan presentasi provokatif untuk membuat obyek foto mendapatkan gerak yang natural dalam pengambilan gambar.

Melalui presentasi realistis inilah penanda untuk kultur yang realistis dapat diamati dengan cermat. Bagaimana kejadian dan tempat yang dapat menjadikan representasi dari visual terwujud. Dinamisasi ikon ini dpat dilihat dari waktu ke waktu, berubah atau tidak, jika mendapatkan penanda yang stagnan dalam satu masa maka saat itulah petnda dapat digunakan mejadi ikon yang sesungguhnya, ikon murni dalam kultur. Dengan demikian riset tentang penanda akan mendapatkan satu titik visual yang jelas, tepat sasaran dan tidak membutuhkan energi banyak. Jika ikon visual hasil fotografi diikuti secara runtut dan verbal. Juga melalui segmen semacam ini akan menjadi infrastruktur untuk pemetaan ikon cultural yang lebih beradab,tanpa harus riset yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Latar belakang fotografi yang spontan ini memiliki ruang tersendiri untuk mewujudkan satu esei fotografi yang ideal terhadap tekanan social untuk menghadirkan subyektivitas yang diluar naturallitas kultur.

Melalui karya –karya pameran ini dapat dilihat bagaimana ikon kultural diperlihat secara sadar dalam ruang subyektif penciptaan karya. Naturalitas pengambilan visual juga adegan obyek serta tempat yang biasa digunakan untuk pengambilan gambar adalah sekumpulan syarat pembentukan penanda dalam realita ikon kultur. Disini kesimpulan dapat diambil dengan wacana yang cenderung sosiologis dan sosiokulturnya yang menjadi latar belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar